Puasa Saat Pandemi, Adakah Makna Berarti?

Setelah diingat, sudah masuk tahun ketiga Ramadhan dibersamai situasi dan kondisi pandemi. Meski saat ini, tidak begitu ramai lagi berita-berita pandemi terkini. Dan fokus kita tak lain seputar minyak goreng yang sempat langka dan kemudian, "Duh, mahal ya!", juga pertamaxxx yang tiba-tiba ikut naik harga. Pokoknya semua seperti mendadak naik harga dan kita pasti sempat resah dan gelisah dengan keadaan yang tidak begitu menyenangkan di bulan mulia Ramadhan saat ini. Tapi Alhamdulillah-in aja, kita bisa sampai di bulan Ramadhan 1443 H.




Puasa Ramadhan 1443 H kali ini suasananya sudah berbeda bagi saya, karena sudah memasuki fase yang bukan lagi mengurusi diri sendiri tapi juga memikirkan orang selain diri sendiri, ya, Suami. Hal yang sangat saya syukuri sekaligus membuat saya harus belajar lebih giat lagi untuk beradaptasi di fase baru ini. Kelihatannya memang menyenangkan bagi yang masih single, "Wih, puasa Ramadhan udah ada temannya." Tapi cukup effort juga ya ternyata..., meski begitu, saya menjalaninya dengan tetap enjoy. Pernikahan yang baru berjalan hampir 4 bulan ini membuat saya flashback tentang rentetan perjalanan yang saya lewati sejak pandemi COVID-19 hadir sampai sekarang yang sudah entah bagaimana perkembangannya (yang pasti kita masih harus tetap menjaga protokol kesehatan), karena fokus kita tiba-tiba teralihkan pada perekonomian negara yang memiliki korelasi cukup kuat dengan dapur di rumah dan juga aktivitas sehari-hari.


Perjalanan saya sejak pandemi itu di mulai dari bagaimana panik dan ribetnya ketika saya harus segera menyelesaikan kuliah. Pas! Pandemi hadir, Skripsi juga di mulai dan semestinya segera diselesaikan. Saya pikir semua ini akan menghambat semua yang sebelumnya berjalan normal tetapi dengan adanya pandemi justru banyak sekali pelajaran yang bisa saya dapat. Tepatnya, pandemi ini memaksa kita untuk bisa lebih adaptif sebagai manusia yang pasti dalam kehidupannya akan selalu menemui banyak hal yang memang (dan sudah pasti) tidak bisa diduga kehadirannya. Ya, manusia dan kehidupan yang dinamis. Semua akan mengalami perubahan. Bagaimana menyikapinya?

1. Survive diiringi Sabar
I know, sabar bukan solusi untuk permasalahan yang menghampiri kita. Tetapi setidaknya dengan bersabar, kemampuan kita bertahan untuk tetap positive thinking terjaga, husnudzon pada keadaan yang kita yakini bahwa ini menjadi 'sesuatu' yang bisa diambil pelajarannya dan pelajaran itulah yang akan memberi kebaikan untuk diri kita. Sabar, saya rasa memang bukan soal ada batas atau tidak. Tapi, kita mau atau tidak untuk mampu bertahan di keadaan apapun dengan tetap berpikir positif. Hal ini tentu akan meningkatkan derajat kita, kemampuan kita, dan lebih mudah mengendalikan emosi/perasaan yang tiba-tiba hadir tanpa permisi.

2. Struggling penuh Keikhlasan
Berjuang dengan penuh keikhlasan. Sebelumnya, apa sih "Ikhlas" itu? Karena seringnya kita bingung mengartikan, maka mari kita sepakati bahwa "Ikhlas" ini pasti sesuatu yang murni. Kemurnian ini tentu tidak bisa kita ukur dalam bentuk kuantitas. Tapi, insyaAllah bisa kita perkirakan kualitasnya dengan melihat bagaimana kita struggling for something. Ketika kita akan berjuang, pasti ada awalan yang akan memantik sebuah tindakan, namanya NIAT. Pada niat itu akan muncul percikan untuk menggerakkan kita. Bagian mana Ikhlas-nya? Saat niat itu sudah ada, kita perlu untuk benar-benar memurnikan niat itu untuk Allah Swt., yang mana Dia adalah satu-satunya yang mampu memperkuat langkah dan memberi pertolongan ketika kita rapuh dalam langkah di perjalanan berjuang. Maka, entah berat atau ringan suatu perjuangan, kita tetap harus memastikan kemurnian niat kita untuk 'memperjuangkan sesuatu' itu. Di sanalah "Ikhlas" bisa kita perkirakan kualitasnya.

3. Keep on Walking dibersamai Ridha
Setelah kedua poin di atas, yang terakhir dengan tetap terus melangkah, berjalan, atau meneruskan apapun yang di rasa berat kita perlu Ridha. Apa lagi sih "Ridha" ini? Ridha bisa kita artikan sebagai suatu 'acceptence'. Penerimaan khususnya atas apa yang Allah Swt, Rabb kita, berikan kepada kita - baik yang tampak menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Ini akhir sih. Ketika kita sudah tidak bisa menanggulangi atau memang tidak ada jalan lain selain harus tetap berjalan di track yang rasa-rasanya kita tidak nyaman. Menerima apa yang sudah menjadi qadarullah, memang sesuatu yang kadang tidak mudah ketika yang kita terima bukanlah apa yang kita inginkan atau kita harapkan. Tapi bagaimana lagi? Sebagai hamba, sebagai manusia biasa, kita memang punya batas untuk menentukan sesuatu atau sebuah hasil. Kita hanya unlimited untuk menjadi seorang pembelajar sejati. Ya, dari hal-hal yang kita terima ini, kita akan terus belajar, memaknai sesuatu yang pasti ada kebaikan yang dapat kita ambil, sebab (yakin gak sih?) Allah Swt., itu selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya.


Mulai dari resah dan ditutup dengan gundah, sejak menjalani skripsi di awal pandemi, lulus dan mencari kerja dengan penuh suka duka, dan akhirnya menikah (memiliki teman hidup), sampai saat ini. Saya rasa, puasa Ramadhan yang saya jalani selama pandemi penuh dengan makna yang menjadikan jiwa saya justru semakin tenang.

Menjalani puasa Ramadhan saat pandemi terasa lebih mendalam maknanya, sebab semakin tinggi tingkat kesulitan yang kita hadapi, potensi kita untuk berjuang akan semakin besar, dan kita semakin dalam sekali memaknai semua kejadian. Ketika kita bisa berpikir dan merasakan sesuatu yang mendalam dengan jernih, maka di sana kita temukan sesuatu yang menenangkan. Maka, kita temukan arti yang 'worth it' kita gunakan untuk meneruskan kehidupan di depan.

Bukankah begini lebih baik?
Berpikir untuk lebih memberdayakan diri ataupun orang di sekitar.

Let's say, Alhamdulillaah~


Sekian.
Semoga dapat diambil yang baik-baiknya ya~
Selamat memaknai dan menjadi bermakna ^_^

Komentar

Postingan Populer