Profesi Mulia yang Di Gaji Langsung oleh Yang Maha Kaya

Bicara soal profesi, semua orang yang bekerja di sebuah instansi atau apapun yang bisa dilihat kantornya atau perusahaannya pasti akan lebih mudah untuk dikenal, dipahami posisinya, dan barangkali lebih disegani karena jelas dimana tempatnya dan mungkin orang lain bisa sampai membayangkan berapa gaji yang didapatkan. Meski begitu, tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Terkadang juga ada beberapa orang yang menganggap bahwa profesi itu tidak begitu penting asalkan kita tahu peran kita seperti apa, dengan sudah berperan di bidang yang dipilih rasanya pengakuan atas profesi tidak begitu berarti lagi..., mungkin? Seperti ku.


Sebelum bercerita tentang profesiku, aku ingin mengajak untuk menyeleraskan pemikiran dan pemahaman dulu. Kita mulai dari, apa sih Profesi? Kalau menurut KBBI, Profesi n bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu


Maka, saya dengan pendidikan terakhirnya adalah Sarjana Akuntansi. Pasti seharusnya (emang siapa yang mengharuskan? wkwk) bekerja sebagai seorang Akuntan atau mungkin Auditor, pegawai Bank, atau bahkan bisa saja Bendahara Kantor. Seperti itulah, profesi yang pada umumnya diketahui dan diakui. Tetapi, kalau pendidikan saya Akuntansi dan saya tidak mau mengambil profesi yang relevan, artinya apa?



Mari kita mulai bercerita...

Jadi, awalnya saya adalah tipikal anak yang tidak begitu paham tentang diri saya sendiri, yang saya ketahui dulu saya hanya suka menulis, menulis, dan menulis. Sastra dan literasi adalah bidang yang sebenarnya ingin saya tekuni. Namun, nyatanya saya gagal untuk masuk ke lingkungan itu lewat perkuliahan. Berusaha untuk kuliah di luar kota dengan jurusan yang saat itu sangat saya minati dan berakhir gagal dan berkuliah di Kota sendiri mengambil jurusan Akuntansi. Sebuah pilihan tanpa pertimbangan, kecuali nanti biar kerjanya mudah, kan Akuntansi banyak dibutuhkan. Begitu...


Sebelum mengetahui apa yang saya mau saat itu, saya justru terus mengikuti arus yang deras bersamaan dengan buih-buih yang lain. Mungkin kasarannya, saya masih kruyak-kruyuk meskipun saya sendiri yang memutuskan untuk ikut arus tersebut. Padahal, andai, saya sudah paham semestinya, pasti saya lebih berani untuk mengambil jeda, berpikir sejenak, inhale-exhale, untuk membuat pertimbangan-pertimbangan matang dan mengambil sebuah keputusan. Sayangnya, menurut penelitian, lingkungan kita itu akan berpengaruh 80% terhadap diri kita. Karena, saat itu pada umumnya, pola setelah lulus sekolah SMA adalah kuliah. Maka, (saya ulangi lagi) saya harus ikut pola arus tersebut.


Standar hidup yang saya temui saat itu masih  pada umumnya, dengan keadaan saya yang masih semrawut. Tidak mengerti konsep diri, tidak tahu tujuan hidup, dan mana paham nilai kehidupan. Terpaksa saya jalani karena biar jadi pada umumnya, itu pun dengan maksud agar orang tua saya tidak jadi overthinking gara-gara anak pertamanya tidak mau kuliah, misalnya. Ya, akhirnya saya merelakan diri, sambil terus mencari jati diri.


Dan dari situ, dari kesalahan (mungkin?) justru saya banyak sekali belajar. Kuliah 4,5 tahun yang saya akui memang pantas dikatakan membuang-buang uang alias stupid cost adalah bukan salah siapa-siapa. Kecuali, kesalahan untuk menjadi lebih baik. BTW, saya mulai risih, kalau dalam kehidupan ini selalu mencari-cari kesalahan, ini tu salah orang tua, ini salah ku, ini salah keluargaku, ini salah temanku yang jahat, atau salah-salahin yang lain. Sudah bukan waktunya, merengek dan menyesali semua (yang mungkin disebut sebagai) kesalahan, yang kita alami. Saatnya, kita berpikir dan bertindak lebih tepat, membuat strategi terbaik, setelah menentukan arah langkah yang lebih baik.


Tidak memilih profesi yang relevan, tidak menjadikan saya lantas rendah diri. Sebab, saya sudah pahami betul apa mau saya. Sangat berbeda pada umumnya dan ini pilihan saya. Menjalani sesuatu yang menjadi pilihan diri sendiri dengan penuh pertimbangan yang baik dan dengan pengetahuan, ilmu, yang cukup akan membuat kehidupan ini justru semakin tenang. Saya tidak mau, menjalani sesuatu yang tidak membuat saya tenang seperti masuk ke dalam lubang jurang yang sama, mengulangi arah langkah saat saat lulus SMA dan langsung pergi kuliah itu. Kali ini, saya memilih sendiri apa yang akan saya kerjakan dan apa yang akan saya tuju, dengan begini saya bisa sadari risikonya sendiri dan bisa menerima itu dengan lebih baik dan tenang. Membuat circle sendiri, menjalani kehidupan yang saya rencanakan sendiri dengan pedoman hidup yang diberikan oleh Tuhan, dengan begini saya rasa hidup saya lebih worth it untuk terus dijalankan dibandingkan sebelumnya.

Menciptakan standar hidup sendiri menjadi keputusan yang paling menenangkan selama saya sadar bahwa kehidupan ini tentu penuh liku-liku, ada suka ada duka (nyanyi?). Membuat standar hidup dengan melihat data kemampuan diri saat ini, membuat kita lebih enjoy! Gak ada beban sebuah perbandingan, entah itu kita sendiri yang memperbandingkan atau bahkan orang lain ke kita. Tapi, meski kemampuan saat ini sudah ada sekian persen. Semakin hidup berjalan ke depan, tentu perubahan akan semakin banyak ditemukan. Dari situ, perlu sadar lagi bahwa kehidupan ini dinamis, begitupun kita sebagai manusia biasa yang hidup di dunia. Maka, sebenarnya kemampuan itu pun bisa ditingkatkan sekian persen, meski seringkali ketika menghadapi perubahan perlu yang namanya adaptasi - dan seringnya itu tidak mudah, jika mindset kita sulit diajak bertumbuh atau terlalu nyaman dengan konsep jadul. Setidaknya, ketika kehidupan di rasa masih berjalan, kita pun tidak hanya diam, apa lagi sambil merengek, mengeluh, dan menyalahkan. Parahnya lagi, alih-alih evaluasi dan melakukan perbaikan - yang ada malah terus mencari validasi atas kebobrokan diri sendiri. Jangan ya~


Apa respon terhadap distraksi yang sesekali muncul?
Saya tahu prioritas saya dan paham apa yang perlu saya optimalkan untuk fokus menuju sebuah tujuan, sehingga distraksi sesekali saya abaikan (istilah nge-trend-nya BODOAMAT), tapi pernah juga saya teliti apakah relevan dengan proses yang sedang saya jalani? Barangkali bisa dijadikan data untuk evaluasi diri. Selama berproses, evaluasi menjadi stasiun pemberhentian sebelum kita berangkat untuk melaju lagi. Begitulah hidup, memang harus balance. Work hard itu pasti, tapi istirahard juga penting.


Lalu, apa sebenarnya profesi saya?
Kalau dibilang profesi pada umumnya saya belum punya, kecuali Penjual Buku Anak. Entah itu disebut profesi atau bukan, peduli amat. Peran terpenting saya saat ini adalah Ibu Rumah Tangga. Bukan hanya bekerja mengurus pekerjaan rumah saja. Tapi saya juga harus memanajemeni apa yang berjalan dalam Rumah Tangga. Dan mungkin, tanpa saya sadari ilmu saya di Akuntansi sangat berguna khususnya dalam manajemen keuangan keluarga saya. Ya, begitulah tidak ada yang sia-sia ternyata. Selain itu, saya juga berupaya untuk mencari pundi-pundi cuan lewat menulis artikel di suatu web. Dan berusaha lagi untuk aktif menulis di blog sendiri. Selain itu, apa ya? Hanya itu saja.

Kalau untuk menjual buku anak, itu bukan semata-mata hanya saya niatkan untuk mencari rezeki berupa uang. Tapi juga berupa relasi dengan orang-orang yang punya ilmu dan paham tentang kehidupan berkeluarga, juga paham bagaimana pendidikan anak seharusnya diberikan, sehingga saya sangat terbantu. Kelak ketika anak saya sudah lahir ke dunia, saya sudah siap menyambutnya dengan penuh persiapan dan meski sedikit, sudah saya siapkan fasilitas terbaik untuknya sejak saya masih single bahkan, MasyaaAllah. Selain itu lagi, rezeki kesadaran bahwa kehidupan ini sesungguhnya dimaknai sebagai apa(?) Rezeki ilmu, rezeki buanyak sekali. Saya bahagia, bersyukur, amat sangat bersyukur, Allah berikan saya kesadaran dan izinkan saya untuk berada di sebuah kapal dakwah besar. Menjadi bagian dari pejuang peradaban melalui kapal dakwah yang menuju tujuan mulia dengan mengambil proses lewat literasi, lewat fasilitas berupa buku. Dan buku adalah kesukaan saya. Nikmat mana yang saya dustakan? Gak ada.

Saya pernah melamar pekerjaan, berkali-kali sesuai apa yang saya rasa masih bisa saya toleransi. Saya tidak begitu suka menjadi (maaf) bawahan, yang kasarannya cuma di suruh-suruh terus. Mungkin karena memang kepribadian saya ini termasuk yang sulit untuk diberi telunjuk. Saya lebih bahagia menjadi seorang PEMIMPIN, setidaknya untuk diri saya sendiri. Kepribadian yang lebih suka diberikan peran khusus, bukan untuk di suruh-suruh. Saya benci menjadi (maaf) seorang kacung yang hanya manut dan diberi telunjuk ke sana kemari tanpa ada tujuan jelas. Peran saya harus jelas sesuai dengan kemampuan yang saya miliki dan saya mau diberikan kesempatan untuk berpendapat. Sayangnya, saya belum menemukan tempat seperti yang saya mau di Kota saya. Kebanyakan harus manut dan taat, ya pantas saja saya tidak diterima :D

Saya juga pernah mendaftar CPNS. Apakah itu kemauan saya? Tentu bukan! Itu kemauan Ibu saya. Saya tidak bisa menolaknya dalam keadaan yang masih berproses saat itu, bukti saya masih kurang sehingga saya menurut saya, bentuk birul walidayni saya. Akhirnya, tentu saja tidak lolos. Wong saya berharap gak lolos, wkwk. Begitulah, profesi itu tidak bisa dipaksakan ke beberapa orang termasuk saya. Saya harus realistis? Memang, saya sudah realistis. Butuh uang, iya. Tapi jalan yang saya tempuh itu yang mana dan seperti apa? Apakah segala jalan? Tunggu dulu! Soalnya, saya mulainya dari kesalahan. Jadi, tidak semudah itu. Banyak yang perlu diperbaiki.


Melihat tulisan saya dari atas sampai sini, mungkin saya agak terlihat idealis. Tapi, saya melakukan itu bukan tanpa pertimbangan dan pemahaman. Saya sendiri, tidak menyangka dapat bertahan dengan jalan yang akhirnya saya pilih sendiri. Mungkin terlihat serabutan, tapi nyatanya kan gak begitu - sepemahaman saya sendiri khususnya.


Profesi yang mulia bagi saya adalah profesi dimana seseorang itu memiliki pemahaman/pendidikan yang sesuai dengan pedoman kehidupan yang sudah Allah Subhanahu wa ta'ala berikan. Ya, Al-Qur'an. Sebuah petunjuk hidup paling lengkap - di dunia sampai kita di beda dimensi lagi setelah kematian. Mungkin gaji kita di dunia ini tidak seberapa, tapi Allah akan kasih gaji langsung kalau kita bisa bekerja atau mungkin menjalankan misi kehidupan kita dengan sebaik-baiknya. Bermanfaat untuk sesamanya, tidak menyebabkan kerusakan, tidak membuat kita lalai, dan menambah ketakwaan kita kepadaNya.

Ya, seorang Muslim memang harus kaya. Benar, saya akui itu benar. Tapi dengan jalan yang seperti apa? Itu yang perlu dipikirkan dengan sebaik-baiknya. Kita perlu capai dengan jalan yang mulia, supaya kemuliaan juga yang kita dapatkan. InsyaaAllah...

Apakah saya punya cita-cita untuk memiliki sebuah profesi khusus yang lain?
Tentu ada. Dan sedang saya persiapkan.


Mungkin itu aja sih, ceritaku.
Apapun yang kamu pikirkan tentang tulisan ini, semoga adalah kebaikan yang bisa kamu dapatkan.

Komentar

Postingan Populer