Tak Butuh Tips untuk memilih Universitas

Sudah masuk bulan Februari. Tanda-tanda bakal kisruh. Eh ndak sih. Keingat zaman SMA dulu. Di bulan-bulan awal tahun kayak gini, bakalan banyak yang ribet ngurusin berkas-berkas, dokumen, nilai, dsb. Banyak yang mikir berat, wara-wiri ke sana kemari, dan rajin konsultasi. Konsultasi? Iya. Kayak orang kena masalah gitu. Konsultasinya bukan ke dokter kejiwaan sih. Konsultasi ke Bimbingan Konseling kalau aku lihat teman-temanku dulu. Lihat doang? Iya. Aku cuma nyawang tok. Ngelihat gerak-gerik mereka. Dan tiap mereka ribet, aku menepi aja. Aku malah bingung dengan satu pertanyaan, apa yang mereka bingungkan? I know sih. Mereka pasti punya harapan yang tinggi. Mendapatkan Universitas yang bagus (menurut mereka), Universitas di luar kota, Universitas ternama, dengan jurusan yang diinginkan. Eh nggak deng. Kadang bukan dengan jurusan yang diinginkan pun mereka tetep yes i do aja.

Jadi, aku cuma pengen ngomong aja. Kalau dari aku pribadi. Entah kenapa, dari dulu aku gak pernah mau yang namanya neko-neko. Awalnya aku punya harapan tinggi. Aku punya ekspektasi yang banyak sekali. Aku juga sama seperti mereka yang ingin kuliah di Perguruan Tinggi yang ternama, yang pasti Negeri. Dan tentunya di luar kota. Repeat: di luar kota. Gak tahu kenapa rasa-rasa ingin keluar kota selalu ada dalam benak setiap manusia yang akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi a.k.a menjadi Mahasiswa/i. Oh mungkin karena memang orang yang merantau akan mengenal dunia luar lebih luas. Ada juga yang bilang, biar gak kerdil pikirannya, biar gak sumpek, dsb, kalian boleh menambahkan sendiri.

Aku sangat setuju. Memang dengan berada di kota yang kecil yang masih belum tersentuh apa-apa, masih segar, masih gitu-gitu saja. Tentu ada rasa ingin keluar dari zona sempit ini. Ingin sekali rasanya melihat dunia luar. Menjalani hidup di kota besar. Yang banyak orangnya, yang macet jalannya, yang banyak gedungnya, yang banyak transportasinya, yang banyak pedagangnya, yang banyak, yang banyak, yang banyak lainnya. Aku ingin seperti itu awalnya. Bahkan aku pernah merasa gak berguna sama sekali. Harus berkecimpung lagi dengan orang-orang ini saja, harus melewati jalan-jalan ini saja, harus makan makanan ini saja, harus melihat itu-itu saja. Tidak ada yang baru. Aku merasa sama sekali tidak ada hal yang baru. Terlebih menyenangkan, sama sekali tidak ada. Ini semua, mem-bo-san-kan. Itu awalnya.

Tapi orang tuaku adalah tipikal orang tua yang sangat mengerti dan memahami. Orang tuaku sangat dewasa. Kok bisa? Iya. Tidak semua orang tua bisa menjadi seorang yang dewasa. Percaya gak percaya. Sadar atau gak. Kalian akan tahu setelah bisa benar-benar melihat dan tentu mengenali bagaimana karakter orang tua kalian. Beliau berdua sama sekali tidak menuntutku, terlebih memaksaku, apa lagi sampai mengancamku, apaaa lagi menakutiku. Sama sekali tidak. Justru aku yang merasa bersalah kepada beliau. Aku sama sekali belum bisa membanggakan. Aku sama sekali belum bisa menjadi anak mbarep (anak pertama) yang luar biasa. Aku juga belum bisa meringankan beliau berdua.

Awalnya aku meminta maaf pada Ibuku. Aku gagal di SNMPTN. Ok sudah kuduga dan kusengaja memang. WHY? Aku tahu jika aku mengakali dengan memilih jurusan yang pasti akan diterimanya, aku sama sekali tidak berani mengambil resiko. Aku takut di awal. Sudah berat dengan kuliah di jurusan yang sama sekali tidak ku kuasai dan kuliahnya di luar kota pula. Itu akan menjadi sebuah beban yang berat, pikirku. Terlebih aku bukan anak satu-satunya. Aku harus memikirkan bagaimana adikku nanti. Kemudian bagaimana orang tuaku nanti. Hidup di luar dengan uang orang tua. Berat untukku! Aku benar-benar memendam ego-ku sendiri. Dan aku berhasil. Tapi lagi-lagi aku harus mengikuti arus, terbawa dengan adanya tes SBMPTN. Ah, aku ingin menangis jika mengingatnya. Kami berangkat menuju Malang. Karena memang mongsone golek Universitas. Macet betul Malang pada saat itu. Kami harus berdesakan. Ah!!! Aku benci sekali melihat wajah letih Bapak karena mengemudi terlalu lama. Aku benci melihat hal itu. Aku diam saja. Berdo'a; semoga Bapak baik-baik saja, diberi kesehatan. Aku sampai memohon ampun karena menyusahkan kedua orang tuaku. Ini hal yang pernah sangat kubenci. Singkatnya, aku gagal di tes ini. Aku semakin muak.

Kemudian aku sempat merenung dan tak begitu lama. Aku memutuskan untuk kuliah di dalam kota saja. Aku menanyakan perasaan Ibu, "Buk tidak apa-apa aku kuliah di Ponorogo saja?" , "Gak. Nyapo lo? Ibuk ki biasa.", "Ibuk gak malu? Karo teman-teman kantor?", "Ibuk ki pernah tho harus terlihat luar biasa, membesar-besarkan. Apa adanya wae wis. Kemampuanmu yang tahu ya dirimu sendiri.". Rasanya aku ingin memeluknya saat itu. Tapi aku malu. Untuk apa juga? Pikirku. Aku mulai membesarkan hati. Melapangkan dadaku seluas-luasnya. Menerjang sempitnya cakrawala pikirku saat itu. Bagaimana dengan Bapak? He's stay cool! Beliau justru cuek saja. Menurutku, Bapak betul-betul paham bagaimana perasaanku, batinku saat itu. Jadi tidak ada banyak komentar. Di antarkanlah aku untuk daftar ke Universitas Swasta yang namanya begitu aku kenal sejak TK. Muhammadiyah~ prok prok prok... Kalau akhirnya harus di Universitas Muhammadiyah, kenapa ndadak ke luar kota. Akalku berbicara.

Kemudian aku mulai menenangkan diriku. Aku membereskan niatku di semester satu. Kurangkai dengan baik. Kucari apa tujuanku. Dengan jurusan yang sama sekali tidak pernah kuketahui dasarnya, terlebih seluk beluknya yang lebih mendalam. Akuntansi adalah tantangan baru untukku. Aku harus mulai pdkt dengannya. Aku harus menerimanya seperti mencintai seorang lelaki. Hm. 
Kupahami kembali hakikat menuntut ilmu. Hatiku mulai tenang. Aku bisa melihat dari sudut pandang yang lebih bersih dan masuk akal juga diterima perasaan. Aku mulai bahagia dan bangga. Meski sedikit. Kemudian memasuki masa-masa bosan yang sudah kuceritakan di awal tadi. Aku harus mengatasinya kembali. Aku sendiri. Ya, aku sendiri yang mengatasi. Tidak ada campur mulut ataupun pendapat orang lain selain diriku sendiri. Aku menyadari, bahwa masih ada ke-introvert-an dalam diriku. Aku mencoba untuk tidak emosional. Menjadi lebih bijak untuk diriku sendiri. Dan berpikir aku tidak boleh seperti ini saja/terus.

Bosan adalah serupa akibat dari malasnya tubuh untuk bergerak dan banyaknya otak bekerja keras untuk berpikir tanpa di seimbangi dengan keproduktivan. Kita hanya di hantui dengan kegelisahan dan ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Padahal itu jelas-jelas setan. Kamu sadar gak sih, setan itu hantu? Sama kan? Kalau kalian diam saja di begitukan para iblis neraka ini (ganti lagi sebutannya wkwk) kalian gak akan bisa bebas dari borgol yang mengunci gerak kalian. Aku pun masih enggan bergerak (kadang). Tapi pada akhirnya, lama-lama aku berpikir kembali. Bagaimana aku bisa membuang semua sampah yang menghalangi ruang gerakku ini?

Kurang lebih begitulah ceritaku. Maaf jika itu tidak membantu. Tapi yang ingin aku sampaikan lagi, begini: kunci dari keberhasilan untuk sesuatu yang memang menjadi tujuan kalian untuk dapat meraihnya adalah seberapa banyak kita bergerak untuk menujunya, seberapa dewasa kita dalam menjalani prosesnya, dan seberapa ikhlas kita untuk menerima segala resiko terutama GAGAL. Dan yang paling utama, yang kutuliskan di akhir ini adalah bagaimana niat kalian? Jika mungkin, ada hal yang lain yang sangat amat memudahkan kalian dalam menjalani apapun dan bagaimana pun hidup yang ada di depan kalian. Kayak misalnya nih, keuangan yang mumpuni. Saranku: bersyukurlah dan berbagilah. Heuheu~

Tidak ada tips untuk memilih Universitas. Cuma ada pertanyaan, kalian mau menuntut ilmu atau menuruti gengsi?

Semoga bermanfaat. Siapapun yang sedang bingung memilih Universitas. Coba berpikirlah out of the box!

Komentar

Postingan Populer