Tentang Budaya: Lebaran
Bismillah...
Alhamdulillahi rabbil 'alamiin...
Bersyukur banget bisa bertemu Ramadan 1439H. Dan hari ini, tahu-tahu sudah akhir. Kalau di rasa-rasa memang cepet banget. Gak kerasa banget, ya Allah. Rasanya belum lengkap, belum baik, belum benar, belum full, belum totalitas, belum sampai, belum, belum, belum sempurna ibadah yang kulakukan di Bulan Suci ini. Andai waktu bisa diperpanjang, andai Allah memberi kesempatan lagi, andai bisa Ramadan lagi, akankah kita memperbaikinya kembali? Akankah kita jalani dengan sungguh-sungguh tanpa bermalas-malasan dan kita akhiri dengan totalitas tanpa hura-hura sebab di waktu seperti banyak sekali yang menggiurkan. Terutama jika kita bicarakan Buka Bersama, yang esensi dan value-nya kebanyakan tidak jelas dan justru menjadi penyebab kita untuk meninggalkan ibadah. Aku bicara gini, karena aku benar-benar melakukannya, dan mengalami masalah dengan ibadahku saat acara buka bersama. Terutama pada Sholat Tarawih.
Seharusnya jika sudah bisa di timbang-timbang bisa tahu harus bagaimana dan apa yang dilakukan untuk menjauh kemungkinan yang buruk, tapi tidak denganku. Namanya manusia, dan aku menyadari semua kekuranganku. Sangat di sayangkan, jarang juga yang berani mengingatkan secara langsung. Mengingatkan bahwa ini waktu Tarawih dan lebih baik Tarawih dulu. Malah beraninya nyindirin kadang juga nyinyirin di status Whatsapp atau story Instagram. Dua aplikasi ini kadang memang kasihan, jadi bulan-bulanan untuk ngoceh yang baik tapi juga ternyata buruk.
Begitulah, don't trust, it's world~
Sudah merasa nyaman kali kalau doi begitu. Aku ngomong gini juga lihat sendiri orang yang beraninya begitu-begitu aja. Tapi kalau ada alasan lain ya gak tahu. Atau mungkin dia takut kelihatan sok, apa bagaimana. What ever! Forget it! Mungkin sebagai pelajaran aja, lebih baik kita mengingatkan seringan mungkin, this time to pray, guys! Sesederhana itu. Mungkin bisa menjadi pengaruh. Semoga aja kita bisa belajar terus bagaimana memahami, mengerti, dan mengingatkan antar sesama tanpa meninggalkan nilai sopan dan santun. Atau mungkin hanya mengucapkan, eh adzan Isya'! Simpel bukan?
Semoga dengan berakhirnya Ramadan. Tidak berakhir pula segala ibadah yang tekun kita laksanakan. Yang penting itu. Ini juga sebagai bahan renungan bagi diriku sendiri. Walaupun padahal cuma bayangin aja aku udah merasa, wah berat nih!
Besok Hari Raya Idul Fitri, Lebaran. Aku gak tahu ini yang di nanti-nanti anak kecil aja atau orang dewasa juga atau khalayak tertentu atau emang semuanya. Tapi jujur, aku menanti Lebaran dan sangat amat ingin dia segera datang adalah saat umurku masih sekitar 15 tahunan. Itu puncak dimana aku masih excited menunggunya, aku masih happy menunggunya. Apa lagi saat berumur <15 tahun, jangan ditanya, seneng banget guah!
Lalu sekarang?
Umur sudah kepala dua, sama sekali biasa aja menyambut Lebaran, justru mikir. Kadang juga membayangkan betapa tidak nyamannya besok. Bukan. Bukan soal duit yang kemungkinan besar gak akan kudapatkan lagi. Sama sekali bukan itu, keles.
Tadi pagi aku membaca story seorang penulis, dan kalimat-kalimat yang dia tulis benar-benar mewakili maksudku. Aku tulis saja di sini.
Jadi, begini :
Alhamdulillahi rabbil 'alamiin...
Bersyukur banget bisa bertemu Ramadan 1439H. Dan hari ini, tahu-tahu sudah akhir. Kalau di rasa-rasa memang cepet banget. Gak kerasa banget, ya Allah. Rasanya belum lengkap, belum baik, belum benar, belum full, belum totalitas, belum sampai, belum, belum, belum sempurna ibadah yang kulakukan di Bulan Suci ini. Andai waktu bisa diperpanjang, andai Allah memberi kesempatan lagi, andai bisa Ramadan lagi, akankah kita memperbaikinya kembali? Akankah kita jalani dengan sungguh-sungguh tanpa bermalas-malasan dan kita akhiri dengan totalitas tanpa hura-hura sebab di waktu seperti banyak sekali yang menggiurkan. Terutama jika kita bicarakan Buka Bersama, yang esensi dan value-nya kebanyakan tidak jelas dan justru menjadi penyebab kita untuk meninggalkan ibadah. Aku bicara gini, karena aku benar-benar melakukannya, dan mengalami masalah dengan ibadahku saat acara buka bersama. Terutama pada Sholat Tarawih.
Seharusnya jika sudah bisa di timbang-timbang bisa tahu harus bagaimana dan apa yang dilakukan untuk menjauh kemungkinan yang buruk, tapi tidak denganku. Namanya manusia, dan aku menyadari semua kekuranganku. Sangat di sayangkan, jarang juga yang berani mengingatkan secara langsung. Mengingatkan bahwa ini waktu Tarawih dan lebih baik Tarawih dulu. Malah beraninya nyindirin kadang juga nyinyirin di status Whatsapp atau story Instagram. Dua aplikasi ini kadang memang kasihan, jadi bulan-bulanan untuk ngoceh yang baik tapi juga ternyata buruk.
Begitulah, don't trust, it's world~
Sudah merasa nyaman kali kalau doi begitu. Aku ngomong gini juga lihat sendiri orang yang beraninya begitu-begitu aja. Tapi kalau ada alasan lain ya gak tahu. Atau mungkin dia takut kelihatan sok, apa bagaimana. What ever! Forget it! Mungkin sebagai pelajaran aja, lebih baik kita mengingatkan seringan mungkin, this time to pray, guys! Sesederhana itu. Mungkin bisa menjadi pengaruh. Semoga aja kita bisa belajar terus bagaimana memahami, mengerti, dan mengingatkan antar sesama tanpa meninggalkan nilai sopan dan santun. Atau mungkin hanya mengucapkan, eh adzan Isya'! Simpel bukan?
Semoga dengan berakhirnya Ramadan. Tidak berakhir pula segala ibadah yang tekun kita laksanakan. Yang penting itu. Ini juga sebagai bahan renungan bagi diriku sendiri. Walaupun padahal cuma bayangin aja aku udah merasa, wah berat nih!
Besok Hari Raya Idul Fitri, Lebaran. Aku gak tahu ini yang di nanti-nanti anak kecil aja atau orang dewasa juga atau khalayak tertentu atau emang semuanya. Tapi jujur, aku menanti Lebaran dan sangat amat ingin dia segera datang adalah saat umurku masih sekitar 15 tahunan. Itu puncak dimana aku masih excited menunggunya, aku masih happy menunggunya. Apa lagi saat berumur <15 tahun, jangan ditanya, seneng banget guah!
Lalu sekarang?
Umur sudah kepala dua, sama sekali biasa aja menyambut Lebaran, justru mikir. Kadang juga membayangkan betapa tidak nyamannya besok. Bukan. Bukan soal duit yang kemungkinan besar gak akan kudapatkan lagi. Sama sekali bukan itu, keles.
Tadi pagi aku membaca story seorang penulis, dan kalimat-kalimat yang dia tulis benar-benar mewakili maksudku. Aku tulis saja di sini.
Jadi, begini :
"Setiap Kali Lebaran"
1.
Setiap kali momen Hari Raya, apakah ada yang merasa dirinya harus
mengucapkan ke semua kontak di hape-nya satu per satu, mengucapkan Hari
Raya, dst.
Kepada
mereka yang bahkan tidak pernah kamu hubungi sama sekali sepanjang
tahun, kepada mereka yang bahkan kamu lupa apakah kamu dekat dengannya
atau enggak.
Bukankah
seolah-olah, pengucapan itu akhirnya menjadi semacam ritual tahunan.
Padahal esensi utamanya adalah silaturahmi, tapi berakhir sebagai
basa-basi. Semacam kalau kita enggak mengucapkan, rasanya enggak enak.
Saya
merenungi hal ini. Perlukah? Apakah segala sesuatunya kembali diukur
dari mengirim tidaknya ucapan Selamat Hari Raya kepada yang lain. Kalau
aku lupa mengirimnya kepadamu, apakah itu diartikan hubungan pertemanan
kita menjadi jauh. Bukankah jauh tidaknya dilihat dari bagaimana
komunikasi kita sepanjang tahun ini?
2.
Ada beberapa orang yang saya kenal begitu takut setiap kali momen
lebaran tiba. Ingin nge-skip hari tersebut, ingin menyendiri saja tidak
bertemu siapapun tapi enggak bisa. Stress memikirkan bagaimana society
kita yang super duper banyak basa-basi dan pertanyaannya yang super
kepo.
Sudah punya anak belum?
Kapan nikah?
Kerja dimana?
Kok belum kerja?
Kapan lulus, kok gak selesai-selesai?
Dll.
Lalu
kembali merenung? Jangan-jangan saya juga terlibat di dalamnya. Untuk
itu, sebagai pengingat diri ini. Saya dan keluarga tidak akan
menciptakan ketidaknyamanan seperti itu. Apa lagi di Hari Raya yang
seharusnya sarat akan kebaikan.
Enggak
pernag ketemu. Ketemu cuma setahun sekali. Terus bertanya-tanya yang
bikin orang lain sakit hati. Apakah momen Hari Raya akan terus di isi
dengan basa-basi seperti itu? Apakah kita termasuk di dalamnya?
3.
Coba renungi, adakah hal-hal yang menurut kita enggak sebaiknya, enggak
seharusnya, enggak semestinya ada dalam momen baik seperti Hari Raya.
Sebagai seorang yang diberikan akal pikiran dan perasaan. Coba renungi,
bagaimana cara kita menciptakan momen Hari Raya sebagai momen yang di
tunggu-tunggu penuh antusias seperti sewaktu kita kecil dulu. Pernah
merasakannya kan? Bahkan sejak hari pertama puasa Ramadhan, kita sudah
menghitung mundur kapan Hari Raya tiba.
Menjadi
manusia dewasa itu benar-benar penuh drama, penuh basa-basi, penuh
pencitraan, penuh dengan sikap-sikap manipulatif. Apakah kita akan
menjadi dewasa dengan lebih baik lagi?
Apakah
kita bisa menjadi manusia dewasa yang menyadari hakikat-hakikat hidup
dengan cara yang mungkin berbeda dengan society kita. Tapi kita paham
bahwa memang kita tidak perlu ikut arus tersebut.
Pertanyaan : Terus gimana komunikasi yang enggak basa-basi?
Ini
menjadi agak rumit. Kalau kita ajak gak tahu bagaimana cara
berkomunikasi yang tanpa basa-basi. Jangan-jangan, selama ini hidup kita
penuh dengan basa-basi. Hidup dengan ketakutan jika enggak seperti itu,
dianggap sombong. Kalau enggak gitu, dianggap ansos dan dikucilkan.
Sebagai esensi dari komunikasi bukan lagi untuk mengeratkan silaturahmi,
tapi demi penerimaan orang lain. Coba masuk ke lebih dalam lagi,
menyelami diri sendiri. Banyak-banyak bertanya sama diri sendiri. Kalau
kita terbiasa basa-basi, hingga lupa esensi dari apa yang dilakukan. Ini
kita menjadi kehilangan makna dari sesuatu tersebut.
Nah begitulah hidup dari sudut pandang @kurniawan_gunadi.
Memahami esensi setiap perbuatan. Tujuan utama dari setiap tindakan...
Melahirkan ketulusan.
Komunikasi yang tulus.
Silaturahmi yang tulus.
Pertemanan yang tulus.
Persahabatan yang tulus.
Kekeluargaan yang tulus.
Ketulusan ini yang menjadi value dalam hidup.
Kalau kita membangun sesuatu dari kepentingan, ketakutan, dan demi dianggap wajar.
Menurut
aku, emang bener sih tulisan dari story @kurniawan_gunadi itu. Aku
setuju. Kalau dari kalian gak setuju gak apa-apa. Cuman jika memang
sudah menjadi budaya di lingkungan sekitar kita, kita gak bisa begitu
aja menghindar. Tapi di sisi lain kita sebagai makhluk yang berakal dan
berperasaan seharusnya tahu mana yang baik yang perlu dilakukan saat
-saat seperti ini. Entahlah, aku juga masih bertanya-tanya sama diriku
sendiri. Meskipun aku belum masuk pada fase-fase yang menjadi objek di
tanya-tanya. Tapi sejak dini, harus kupersiapkan hatiku. Bagaimana aku
menanggapinya dan bagaimana aku berperan untuk tidak menjadi seorang
yang basa-basi dan menyelekiti hati itu. Semoga aku tidak sampai
sepaneng dengan datangnya Hari Raya. Dan tetap selalu menyambutnya
dengan suka cita.
Sekian,
Semoga Bermanfaat.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H
Taqobbalallahu minna wa minkum kullu 'aamin wa antum bi khair :))
Komentar
Posting Komentar