Menikah #1

Bismillah...

Akhir-akhir ini banyak sekali ya yang bahas tentang nikah. Bulan Syawwal sih.
Mungkin emang banyak yang bawa perasaannya. Lihat di sekitar rumah ada terop, di jalan raya ada terop juga, di manapun kayaknya banyak terop yang terpasang. /siapa tahu acara halalbihalal gaes -_- please!

And by the way, siapa aja sih yang excited banget ngomongin tentang nikah ini?
Aku gak akan ngejudge siapa, tapi makin ke sini aku menilai kebanyakan adalah para gadis yang 19+. Benar atau salah, ini data yang ada di otakku setelah melihat, mendengar, dan menelusuri. Termasuk aku kah? Maybe. Tapi aku lebih suka ikut nimbrung aja dah. Masalah aku pengen apa nggaknya, ya pikir aja ndiri, siapose yang kaga kepingin nikah, la buset dah! Eke juga kepengen kok.

Awalnya bukan di bulan ini sih, cuma bulan ini semakin membludak pesertanya. Sudah sejak semester lalu, banyak sekali yang mulai ada niatan dalam hati ingin menyegerakan diri untuk menikah. Bukan salah, bukan masalah. Ini memang hal yang wajar, menurutku. Terlebih di umur-umur 20. Dan terlebih lagi kalau sudah ada calon pasangannya. Itu hal yang terpenting dan utama. Ada pasangannya! Gak ada yang perlu diperdebatkan di sini. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu dirundingkan, dilist, kemudian dibuat kesepakatan dalam menuju suatu pernikahan. Ya jangan salah, menikah itu bukan hanya set set wett, rencana, proses, saya nikahkan, sah, dan lain-lain. Persiapannya, ya Allah. Aku bayangin aja sampai pusing larut malam sampai pagi. Berangan-angan saja aku belum sanggup. Aku belum mampu. Dan semakin lama kupikir, semua tidak untuk dibayangkan dan di angan-angan. Semua harus dijalani sesuai waktu yang telah Allah tentukan. The time too long, gak cuma sebulan, dua bulan. Atau setahun, dua tahun. Kecuali, dalam tanda kutip, jika sudah mantab langsungan. Maksudmu? Nah ini, mantab dalam artian bukan hanya dalam dirimu atau keluargamu. Gila lu kalau sampai gitu, aja. Allah adalah yang pertama diajak rundingan. Libatkan Allah, bahkan sejak awal. Sejak awal mengenal si cajo (calon bojo), yoih men! Istiqarah sudah? Berapa kali? Itulah. Kalau cuma yakin. Sadar dong lu siapa, woy! Yakin amat sama diri sendiri. Yakin itu karena Allah lah, karena Allah sudah memberi petunjuk atau tanda-tanda, baru maju. Dalam tanda kutip lagi, si cajo laki sudah siap dalam segala hal. Kalau masih kelihatan ragu, suruh balik aja ke rumah terus ngaca. Yang cajo perempuan kalau kelihatan ragu, balik sonoh ke kamar terus ngaca juga. Tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi pada kalian. Semoga.

Itu masih awal, belum lagi bahas yang lainnya. Seperti komitmen dan rombe-rombe lainnya. Pusing sudah mikirnya. Kalau aku jabarin coba ya, mungkin kalau pihak perempuan yang paling utama adalah bagaimana menjadi sebaik-baiknya Ibu bagi anak-anaknya nanti. Bukan soal makanan, pakaian, kebersihan, kebutuhan lain-lain saja. Tapi yang paling penting adalah pendidikan karakter, pendidikan keislaman untuk menjadikan putra dan putrinya generasi yang madani yang kaya dengan nilai-nilai Islam tentunya. Jangan lupa ya bu ibu, kita adalah madrasah utama bagi anak-anak kita nanti. Sadaaap!!!

Kenapa yang dibahas pertama anak? Kenapa gak ngurus suaminya atau urusan masak, dsb. Menurutku karena kita menikah bukan hanya untuk kenikmatan dan senang-senang kemudian susah-susah saja dan sudah gitu saja terus. A elah. Terus apa manfaatnya untuk negara dan bumi ini? Menurutku ya saat melahirkan anak, semestinya setelah itu kita membentuk dan mendidik anak-anak yang shalih/at tentunya. Bermanfaat untuk dunia ini, menjadi investasi bapak ibuknya untuk bisa mendapat Surga Allah. Menjadi penyebar kebaikan. Penting itu. Sebab semakin ke depan, zaman akan semakin keras dan trengginas. Aku rasa, sudah semestinya kita calon ortu masa depan harus mempersiapkan diri dengan matang dan kokoh juga tahan lama. Mereka membutuhkan orang tua yang melek akan ilmu dan berbekal keislaman yang mumpuni yang tidak main-main apa lagi tidak terarah. Sebegitunya ya? Ya iyalah!
Kalau laki-laki? Ya harus tandang, tanggap, tangguh, dan taqwa. Mencari rezeki. Setidaknya cukup untuk mengisi otak, hati, dan perut anak istri. Tapi yang utama, tentu semua tahu laki-laki adalah imam. Bukan hanya untuk sholat, bukan hanya untuk petentengan di depan saat berjalan bersama. Tapi untuk memimpin, merangkul, menggandeng keluarganya menuju... apaaa? Menuju Surga. Eh gak cuma laki sih, perempuan juga. Caranya ya bersama-sama. Menjadi pasangan yang penuh taqwa. Cuma laki-laki bertanggung jawab lebih, yang seharusnya mengingatkan si Istri untuk mentaati Allah dan RasulNya.


Terus kalau aku sendiri? Belum kalau untuk menikah dalam waktu dekat. Memikirkan kuliahku saja sudah cukup membuatku hampir mimisan, banyak rambut yang rontok, dan mimpi buruk. Aku belum berani untuk mengambil langkah berikutnya jika belum kuselesaikan urusanku pada tahap ini. Aku tidak berani mendobel tanggungan. Bukannya aku tidak setuju nikah sambil kuliah, atau gimana, terserah masing-masing. Tapi semua butuh persiapan yang betul-betul siap, dalam segala aspek. Dan nikah itu bukan guyonan. Aku sebenarnya gatal jika ada yang menjadikan nikah sebagai bahan bercandaan. Jadi jangan lakukan itu. Kasihan yang kamu bercandain. Terus apa lagi ya... Oiya, masalah calon. Siapapun dan bagaimanapun bentuknya. Dia memang tidak akan pernah sempurna seperti lagunya Andra&the backbone. Manusia, dimanapun, akan selalu dan selalu punya kesalahan dan kekurangan. Jadi sebenarnya, adalah setelah menikah harus terus masih tetap sama-sama memperbaiki diri, cuma bedanya kali menikah ada bahunya yang buat sandaran kalau sedang lelah hati dan raga (mungkin), ada pelukannya yang hangat (mungkin), ada ciumannya yang membuat ringan (mungkin), ada yang tentram di suatu sisi yang ada pada diri kita (mungkin). Ya begitulah. Kita hanyalah manusia. Semua kuberi kata 'mungkin' karena hal tersebut, aku tidak benar-benar mengetahui bahwa rasanya memang seperti itu. OK. Silahkan mesem atau mrenges~


Dan last untuk bahasan yang masih amatir ini.
Mari banyak merenung dan bercengkrama dengan Allah tentang hal yang begitu mengusik kita, entah itu baik atau bahkan buruk. Utamakan bicara pada Allah. Siapa lagi, selain Allah? Semua hanya makhluk termasuk kita. Dan Allah yang Maha Mengetahui atas segala urusan makhluknya. Menurutku juga, jangan lebay. Iya-iya kepengen nikah, sans dong. Jangan semua tempat kamu sebarin kalimat pernikahan. Gak perlu ah dunia dan seisinya ini harus tahu apa yang menjadi hajatmu. Cukup Allah saja sudah. Apa lagi yang sudah nikah, tahan dikit dong. Iya-iya sudah sah. Tapi tengok kita-kita yang masih lontang-lantung mencari dong. A elah. Sudah puas-puasin dan rahasiakan aja kenapa sih. Perlu banget emang dunia dan seisinya ini tahu kemesraan yang membahanamu? Ya Allah Astaghfirullah, mohon maaf lahir dan batin nih yaa... menurutku hal tersebut adalah kesia-siaan yang nyata. Berbagi kebahagian seharusnya juga ada batasannya untuk menengok pada perasaan orang lain, lebih menghormati khalayak baper di bumi ini. Buatlah porsi untuk berbagi. Jangan dikit-dikit dibagi dong, masa sampai mesraan di ranjang aja dibagi. MasyaaAllah. Bukan maksud nyinyir sih. Tapi mari kita tingkatkan tenggang rasa, ngajeni, dan menahan diri dari riya' yang tidak bermaksud riya' (maksudnya tidak riya' tapi kan ada manusia lain, mana bisalah, manusia tetap lemah). Tidak bisa menghindari rasa-rasa tersebut. Maka dari itu sepertinya kita ini perlu membuat batasan atas berbagi foto-foto mesra bersama pasangan. Ayolah saling mengerti gitu lo, biar endesgruw.

Ini tadi terakhir, ternyata ada lanjutannya. 
Ini benar-benar terakhir. Menikahlah setepatnya menurut petunjuk dan tanda-tanda dari Allah, bukan secepatnya. Lebih baik begitu. Jangan nafsu meskipun ada. Ya, kita ini memang penuh nafsu. Tapi bisalah kita mengontrolnya agar lebih lirih dan pelan. Agar saat berpikir untuk mengambil keputusan dia gak terlalu dominan dalam proses. Proses menuju menikah, tentunya.

Baiklah.
Sekian sharingnya. Kalau ada komentar lain silakan. Saya sangat senang jika di komentari secara langsung.
Semoga Bermanfaat.

Nite.

Komentar

Postingan Populer