Menilik Infrastruktur lewat Tol Ber-Kilometer

Masih Ponorogo
8:43 a.m

Selamat Pagi readers. Siapa aja sih readers-nya?
Hahaha entahlah. Siapapun yang baca tulisan-tulisanku semoga faedah aja. Sudah beberapa hari gak nulis. Sedikit curhatan, kemarin aku gak sempat bersantai-santai, buka laptop, atau nulis di aplikasi hape. Belum ada niatan aja. Sepulang dari silaturahmi ke luar kota, badan malah down, kena flu. Gak tau kenapa bisa kena flu cuma sehari, dua hari. Alhamdulillah sih ya kalau gak berhari-hari. Tapi aneh aja. Atau mungkin karena makan mie. Yang kulihat tanggal exp udah deket banget dan tetep aku makan. Emang dasarnya doyan makan. Karena sebagai bentuk dari rasa syukur, masih banyak orang yang gak bisa makan harus mengais sampah bertumpuk. Sedangkan kita yang bisa makan enak, kenapa susah padahal tinggal makan? Ngomong apa ya aku ini? Langsung aja deh...


Perjalanan ke Surabaya...

Kenapa ya kota ini lagi yang kutulis?
Gak ada kenangan pribadi yang tertinggal di sana. Adanya cuma sanak saudara. (???)
Yang pertama, cukup menyita banyak perhatian. Jalan Tol menuju Surabaya. Sebenarnya sudah tau dari sebelumnya sih (dari dosen 😂) tapi baru lihat langsung kemarin 25/2. Nyaman sih, maklum saja saya ini bukan orang kota. Saya juga tidak malu jika terlihat kampungan menuliskan ini. Seneng, karena gak harus macet-macetan dan kena polusi meski saat itu kami berangkat terbilang masih pagi. Rasanya ngantuk malah lewat di Tol ini. Jalanannya sepi banget (namanya juga Tol), tapi di Jakarta gak gitu ya, gak sepi. Berawal dari Gerbang Tol Bandar kami harus menunjukkan kartu e-money, seperti biasa. Kemudian langsung saja melaju. Sekitar satu jam-an lebih, gak kerasa banget sudah sampai Surabaya. Melewati Tol ber-kilometer sampai Surabaya ini kami harus mengeluarkan biaya ± Rp. 82.000. Dengan jalanan yang ku akui memang lancar banget. Gak bosan juga jadinya. Terima kasih pemerintah telah memberi infrastruktur yang sangat memudahkan dalam perjalanan untuk ke luar kota. Di era Presiden Joko Widodo ini emang lebih fokus pada pembangunan infrastruktur ya? Tapi mari kita lihat sisi lain setelahnya. Banyak saudara kita yang masih kekurangan, susah buat cari makan, bahkan sampai susah buat menuju ke sekolahnya, kalau aku sebutin satu/satu gak akan habis kesusahan-kesusahan yang di alami saudara kita di Indonesia yang memang tergolong orang-orang pinggiran. Jadi maksudmu, kamu nyalahin Presiden? Tentu saja tidak. Aku cuma heran kenapa di tahun yang pemimpinnya Pak Jokowi ini yang awalnya dekat dengan rakyat kecil. Berakhir dengan suksesnya memakmurkan orang-orang kaya. Ya contohnya banyaknya pembangunan Tol ini. Yang Pemerintah atasi dalam kurun waktu hampir 5 tahun ini mungkin lebih pada mengurangi kemacetan sih ya. Tapi sesuai gak sih sama janji-janji pemimpin kita di awal? Coba kita renungkan saja, kita gak usah eyel-eyelan. Dan lebih realistis, please. Jadi pemimpin suatu negara memang gak mudah. Terlebih Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini sedang dalam masa berkembang. 72 tahun kita masih aja dalam tahapan berkembang. Padahal kita kaya.

Apa sih masalahnya? Ya itu, kita terlalu mengandalkan kekayaan yang kita miliki. Sampai merasa malas, merasa sudah kaya. Padahal sebenarnya kita lupa bahwa kekayaan itu gak bisa cuma di andalkan saja. Kekayaan itu sebenarnya untuk kemajuan kita semua. Sayangnya kita terlalu bergantung karena malas. Tentu saja malas itu pangkal bodoh. That's why! Jadilah orang-orang bodoh seperti sampah. Sulit negara kita untuk menjadi maju jika masih banyak sampah. Yang sebenarnya sampah bisa di recycle, bukan? Nah tinggal yang terakhir kesadaran orang-orang yang sebenarnya gak jadi sampah, orang-orang pintarlah, yang ada di atas sana. Mereka sadar atau tidak bagaimana memberdayakan orang-orang yang kusebut di atas tadi. Atau justru mereka menikmati apa yang sudah didapatkannya tanpa memikirkan orang lain. Lagi-lagi masih ada kurangnya rasa persaudaraan antara kita sesama Warga Negara Indonesia. Padahal kalau lihat kembali, aturan kita pun juga sudah mumpuni, Pancasila sebagai ideologi, terpatri sejak Indonesia merdeka bukan? Yang kalau dipelajari sungguh penuh maknawi. Ah entahlah, berat jika membahas tentang negara ini. Yang jelas awali dari diri sendiri untuk berusaha tidak menjadi sampah masyarakat saja. Adalah kita ini manfaatnya, setidaknya untuk lingkungan terdekat kita. Nyambung gak?


Intinya ya, semoga sedikit-sedikitlah pemerintah mau lebih memedulikan rakyat kecil. Miris tau gak! Kasihan mereka cuma makan janji-janji aja. Yang paling bikin aku miris sih, ada di beberapa pulau, anak-anak sekolah kesulitan untuk ujian. Bayangin aja! Ujian itu udah berat. Tambah lagi mau berangkat ujian aja juga berat. Jadi ceritanya, tahun ini sistemnya semua harus UNBK. Terus yang gak ada komputer di sekolahnya? Ya peduli amat, yat, rakyat! Sanalah pinjem. TAKBIR! Parahnya lagi, mau minjem ke sekolahan lain, masih ada juga tantangan yang harus di lewatin. Kemarin kulihat di berita TV, di Sulawesi anak-anak sekolah yang mau gabung ke sekolah lain karena gak punya komputer harus melewati jalan lumpur. Bayangin, jalanan lumpur! Pengen nangis tau gak. Soalnya aku dulu malas-malasan aja ikut UNBK itu :(( Sedangkan mereka sampai berlumpur-lumpur. Ya Allah, parah sih emang. Bandingin sama jalan Tol yang habis milyaran untuk memakmurkan para pemilik kekayaan. Sudah enak, di penakno pula. Yang sengsara, tambah aja kesengsaraannya. Kesenjangan yang tak ada habis-habisnya.

Ada lagi sih. Waktu aku di daerah Gang Doli. Lokalisasi terbesar se-... apa ya, lupa. Sekarang sudah tobat, bukan lokalisasi lagi. Wali Kotanya perempuan keren sih ya. Galak, tegas, tapi sumpah keren. Doli sekarang sudah bersih dari hal-hal kayak gitu. Dua tahun yang lalu sih, bersih, sampai kemarin akhir Februari aku ke sana juga semakin rapi kayaknya. Tapi tetap sih, kumuh. I have an uncle there. Tapi rumahnya kumuh banget coy. Di sana, di mana-mana bau parit, bau t*i ayam, burung, bau masakan, campurlah. Namanya juga kampung, di tengah Kota besar pula. Tapi mereka terlihat tetap mensyukuri apa yang ada. Mereka yang kumaksud adalah keluarga pamanku tentunya. Terlebih pamanku sendiri, begitu apa adanya. Ya Allah, betapa banyak orang yang hidup dengan keadaan yang tidak senikmat apa yang kudapatkan. Seringkali aku berbicara pada diriku sendiri saat melihat hal-hal seperti ini. Sempat aku merasa jijik dengan lingkungannya, tapi segera aku istighfar. Tidak boleh merasa seperti itu. Bau dan kotor sih emang, tapi B aja lah. Kami juga enggan pergi ke kamar mandinya. Kotor. Kali ini aku tidak bisa menahan diri. Aku mencari masjid terdekat untuk BAk. Dan ternyata sama saja. Bau. Astaghfirullah... Ya sudahlah. Ini perbedaan kehidupan. 

Itu cerita random jadinya. Postingan ini sudah nge-draft sejak tanggal berapa aku lupa. Jadi agak aneh. Biarinlah. Maaf ya kalau emang kalian niat baca ini :D


Selanjutnya perjalanan menuju Kediri.
Awalnya kami sudah menuju ke jalan yang benar. Maklum sepertinya Bapak sudah benar-benar lupa jalanan Surabaya saat ini. Semuanya berubah total. Mungkin barangkali, orang-orang domisili Surabaya pun juga gupuh dengan jalanan yang berubah. Pada akhirnya, untuk menuju ke Kediri harus berputar-putar dan tanya ke sana ke mari kepada orang-orang di pinggi jalan. Kami tersesat. Tujuan untuk melewati Tol Surabaya-Mojokerto gagal. Salah jalan. Akhirnya blusukan seperti pak Jokowi. Melewati perkampungan panjang, jalan terjal. Kemudian sampailah pada jalan raya, macet. Lelah rasanya, padahal hanya duduk dan diam saja. Apa lagi Bapak yang menyopiri mobil. Ya sudah jalan saja. Sampai di Kediri sekitar pukul 8 malam. Sampai Kediri pun masih bingung mencari alamat rumah saudaraku. Bapak lupa nama daerahnya. Arrgghh!!!

Setelah beberapa jam kemudian. Kami bisa sampai ke rumah saudara. Bersih, dingin. Ternyata daerahnya dekat dengan Gunung Kelud. Kalau gak salah, perbatasan Wates. Tauku gitu aja sih. Hehe. Kediri termasuk Kota yang menjaga kebersihan. Masih dibilang cantik. Bolehlah main ke sana. Oleh-olehnya juga khas. Tahu Takwa. Tahunya warna kuning dan teksturnya beda pokoknya.

Kami pulang sehabis shubuh dan mampi dulu ke pasar sekitaran Kota Kediri. Gak tau nama Kotanya apa. Intinya Kediri bersih dan sejuk (kalau malam-pagi) wkwkwk.


Itu sih ceritanya...
Inti akhirnya, naik Tol tuh enak banget, lancar tanpa hambatan tapi kalau gak sadar lama-lama bikin ngantuk dan berkendara ngantuk itu pangkal... apa isi sendiri. Enaknya naik Tol bikin ngerasa bersalah sama teman-teman yang sekolahnya harus lewat jalanan yang berlumpur parah.

Ini tulisan lama, dan baru di post.
Sekian :)

Komentar

Postingan Populer