Keluarga Dan Sebagainya

Bismillah...
Alhamdulillah 'alaa kulli haal!


Yang pertama, masih ada kesempatan yang diberikan oleh Allah untuk hidup sampai saat ini. Menjalani segala aktivitas dengan baik-baik saja. Meskipun aktivitas selama 2 hari ini adalah duduk dan membaca dan yang lain sebagaimana lumrahnya manusia. Dan masih bisa berkumpul, berdiskusi, dan bercanda dengan keluarga. P.s: Bukan keluargaku sendiri! Ku kan belum nikah. Wkwk.
Yang kedua, masih ada kesempatan karena menyempatkan untuk menulis. Itu saja. Meskipun setelah ini harus ada satu kegiatan, sore, yang entah nanti kulakukan atau tidak. Karena lagi-lagi aku sedang malas untuk bertemu siapapun dalam keadaan memikirkan sesuatu yang ku rasa lebih penting. Baiklah. Lupakan hal itu. Dan nikmati sore nanti bersama keluarga~

Bicara mengenai keluarga.
Aku kadang merasa menjadi gadis yang beruntung saat ini. Tapi tidak untuk dulu. Ini hanya soal aku ikhlas dan bersyukur atau tidak. Ok. Aku ingin menceritakan kisah masa kecilku yang bisa dibilang masuk ke dalam kategori 'tidak menyenangkan' meskipun dengan pengecualian.

Mari simak ceritanya...

Dulu Bapak dan Ibuku lahir di keluarga yang baik-baik. Keluarga Bapakku baik dan Keluarga Ibuku pun baik. Sedikit membandingkan. Keluarga Bapak adalah keluarga yang cukup sangat mementingkan harta dan tahta. Kakekku adalah seorang abdi negara. Jadi hal ini berpengaruh dengan life style nenekku. Tapi Bapakku tumbuh sebagai orang yang sangat amat sederhana, sehingga singkat cerita dipertemukanlah Bapakku dengan Ibuku yang sangat sangat amat sederhana. Kuberikan 2 sangat, karena memang Ibuku adalah seorang perempuan yang tingkat sederhananya cukup tinggi. Keluarga Ibu pun juga begitu. Kesederhanaan tersebut dibalut dengan cahaya ilmu. Kakekku sangat menjunjung tinggi pendidikan. Beliau aware banget sama pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Jadilah Ibuku seorang perempuan sederhana yang berpendidikan tinggi. Meski tidak dengan Bapakku.

Awalnya saat akan menikah. Nenekku tidak suka dengan Ibuku. Alasannya sangat tidak elegan; karena Ibu berasal dari keluarga yang sederhana. Sedangkan Nenek ingin Bapakku mendapatkan perempuan yang berasal dari keluarga yang kaya. Sempat juga dijodohkan, tapi Bapak tidak memenuhi perjodohan itu. Bapak sudah mantab, mencintai seorang perempuan sederhana ini, ya, Ibuku. Kemudian pernikahan itu berjalan...

Tapi dibalik pernikahan Bapak dan Ibu juga terselip cerita-cerita yang sungguh menyedihkan. Singkatnya... Ibu tak kunjung mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah. Ya, Ibuku seorang Sarjana Pendidikan. Ah ingin menangis saat menuliskan ini. Jadi, dulu Ibu segera dilamar Bapak dan melangsungkan pernikahan. Namun, dalam adat jawa yang masih begitu diperhatikan oleh keluarga. Mbaknya Ibu belum menikah dan Ibu tidak boleh mendahuluinya. Menyebalkan, adat selalu menjadi penghambat dengan aturan-aturan gaje -nya. Daaan... Bapakku harus ikut andil dalam permasalahan ini, agar bisa segera menikahi Ibu. Bapak mencarikan jodoh untuk Mbaknya Ibu alias Budhe -ku. Hmm... ketemulah orang Jawa Tengah, ya seorang duda yang belum memiliki anak. Menikahlah mereka. Jarak beberapa bulan saja, menikahlah Bapak dan Ibuku, dan tak berjarak lama juga, menikahlah Bulek -ku (karena ada hal yang mendahului start, kau paham bukan?). Akhirnya aku memiliki saudara keponakan yang umurnya tidak jauh berbeda. Sekolahnya pun seangkatan juga. Tidak asik. Haruskah aku menyalahkan orang tua mereka? Hahaha! 

Saat mempersiapkan pernikahan...
Bapak dan Ibu sama sekali tidak banyak mendapatkan bantuan dana dari orang tuanya. Kalau diukur, mungkin 95% uang sendiri. 5% dari orang tua Bapak. 0% orang tua Ibu, why? Saat itu, orang tua Ibu sedang berada di masa krisis ekonomi dan stress memikirkan anaknya yang mendahului start tadi. Jadi, apa boleh buat. Ini menjadi perjuangan yang kupikir sangat luar biasa. Pernikahan independen dengan kesederhanaan :D

Mana lagi, saat setelah baru aja selesai menikah. Bapak Ibuku harus terusir. Tidak bisa tinggal di rumah Ibu. Karena Budhe -ku dan suaminya ingin tinggal di situ. Tidak mungkin tinggal diam. Bagaimana nantinya, Bapak segera saja mencari rumah kontrakan sendiri. Lebih independen lagi khan?!

Inilah perjuangan hidup akan di mulai...

Dengan profesi sebagai Instalasi Kelistrikan tanpa gelar sarjana apa-apa, Bapak mampu menghidupi istrinya. Dan tak lama kemudian, datanglah Lisnadya Cahya Putri sebagai rahmat dan berkah, juga cahaya yang menjadi penerang dua insan yang saling mencintai dengan setulus hati (bangga banget dah gw :D) Di Masa Reformasi Indonesia, 21 Mei 1998 lahirlah bayi perempuan yang bersamaan dengan terbitnya matahari, tepat di penghujung Shubuh. Dan juga tepat saat Bapak selesai sholat Shubuh (kok ogut makin merasa berbangga diri gini sich). Kemudian pagi harinya, tepat pukul 09.00 WIB Pak Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri, lengser, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia selama lebih dari 30 tahun, lebihnya sih 1 tahun dan digantikan dengan Pak B.J Habibi. Gila gak tuh!

Gak b ae.

!Fyi: Menurut KBBI, Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. (Ruangguru.com)

"Semoga aku bisa menjadi pemantik perubahan untuk perbaikan dalam hidupmu ya, Mas. Kan aku lahir saat Reformasi Indonesia." //Apa sih -____-


Maaf, bagian cerita di atas penuh dengan ke-takabbur-an, sehingga dapat menyebabkan ke-dengki-an yang jabang bayik amit-amit. Sekali lagi mohon maaf. Waspadalah!*


Setelah aku lahir, harapan Ibu untuk bekerja semakin pupus. Sebelum menikah, Ibu sudah merasa tidak ada gunanya. Ibu benar-benar mengalami kefrustasian. Lebih-lebih Sarjana Pendidikan. Tapi dengan usaha dan do'a yang maksimal, kita kadang lupa bahwa tanpa Ridho Allah semua tidak akan terwujud dengan baik atau dengan yang kita inginkan. Kata Bapak, Ibu juga sempat mengatakan,

"Lebih baik mati saja daripada berada di keadaan yang seperti ini."

Sampai sebegitu terpuruknya Ibu. Dan pada akhirnya Allah lebih ridho jika Ibu menyegerakan untuk menikah dengan Bapak, sebab Bapak saat itu pun juga sudah sangat siap dalam segala hal. Dan ingin menikah juga.

O iya... pantas saja, kulihat, di semua album foto pernikahan Bapak dan Ibu. Ibu tidak nampak memancarkan aura wajah bahagia, banyak mrengut-nya dan lemes, meski menikah dengan laki-laki yang begitu Ibu cintai, yang selama itu selalu ada. Ya itu karena Ibu merasa pencapaiannya belum selesai. Ada mimpi yang harus Ibu selesaikan, ada harapan yang harus Ibu wujudkan, dan ada cita-cita yang harus Ibu raih. Tapi Allah, ada Allah yang Maha Tahu mana yang terbaik untuk hambaNya. Jadi, kenapa kita seringkali sok tahu harus begini begitu? Saat kutanya seperti itu, Ibu hanya tertawa. Menyadari dulu begitu ambisiusnya Ibu untuk menjadi wanita karir.

Dan pada suatu masa...
Dimana Ibu harus mengasuhku, beberapa bulan. Ibu hamil lagi, anak kedua.
Akhirnya Ibu ikhlas untuk harus menjadi seorang Ibu Rumah Tangga dengan dua anak. Tapi Ibu adalah perempuan yang tidak bisa hanya diam saja. Di sela-sela kesibukan mengasuh aku dan adikku, Ibu berusaha untuk berbisnis. Menjual beberapa macam barang, asal bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Salut. Ibu membantu Bapak meskipun hasil yang didapatkan mungkin tidak seberapa.

Setelah waktu berjalan.
Mulailah aku bertumbuh. Yang aku masih ingat adalah masa dimana aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Saat itu aku menyadari aku hidup bersama orang tua yang sederhana. Sekecil itu, aku sudah berpikir demikian. Aku sadar, aku tidak sama dengan teman-temanku yang saat minta apa-apa langsung dituruti.

Di masa TK. Aku menjadi anak yang sangat amat pendiam dan nriman. Maksudnya aku selalu menerima apapun dan seringkali mengalah. Aku masih ingat; dulu aku satu sekolah dengan saudara-saudaraku, mereka adalah anak dari Mbak dan Adiknya Ibu. Aku sering bermain dengan mereka, tapi aku juga sering di bully oleh mereka; aku hitam, aku jelek, dsb. Aku sering sendirian. Tidak ada teman, menangis sendirian, dan saat aku mengatakan kepada guruku TK,

"Bu, dia nakal. Tidak mau berteman denganku."

Bu Guru tidak memedulikanku. Hanya melihat saja ke arahku kemudian mengobrol dengan guru yang lain. Itu menyesakkan. Tidak hanya itu, aku sering sekali mengalami hal lain.

Dulu semua temanku memiliki tas sekolah yang sangat bagus, ada yang gambarnya barbie, hewan-hewan lucu, tokoh kartun, dsb. Tapi tasku, tasku adalah tas terkeren yang baru ku sadari sekarang. Tas ku saat itu adalah tas bekasnya Bapak. Tas itu kalau sekarang mungkin bisa kita sebut, weistbag. Warnanya hitam, kecil, bahannya parasut gitu, dan memakainya menyamping di depan atau belakang. Tapi karena aku bingung memakainya gimana, aku hanya menentengnya seperti tas kresek. Baiiik!!! Gak ada imut-imutnya sama sekali.

Bapak saat itu, entahlah, kenapa tidak membelikanku tas baru karena tasku yang lama sudah rusak. Antara tidak punya uang atau memang mendidikku menjadi anak yang trengginas, anti manja-manja club. Tapi menurut analisisku, Bapak memang tidak punya uang. Mungkin uangnya lebih baik untuk hal yang lebih penting. Sayang kalau cuma dibelikan tas kecil yang hanya sementara, sedangkan bekasnya saja ada. Siaaap pakque!!! Aku pun hanya membatin,

Bajingkruk setan alas. Tasku elek eram. 

Yha! Enggak gitu kok, hahaha.
Setelah itu, mungkin karena aku terlihat sangat melas. Aku disumbang tas oleh saudara ponakanku. Ya, tas bekas dia. Ok siap! Warnanya pink, gambarnya barbie; rapunzel. Aku masih ingat betul. Dan dia tentu saja dibelikan tas baru. Bersyukurlah, batinku sekarang tapi :D

Hal lain lagi, aku tidak pernah mendapatkan mainan yang kuinginkan dulu. Aku selalu mendapat mainan tapi yang Bapak mampu untuk belikan, seperti; masak-masakan, barbie kecil, ya gitulah. Padahal dulu aku pengen banget dibelikan boneka. Boneka besar. Apapun bentuknya, pokok boneka besar. Terus aku juga pengen banget dibelikan barbie yang bisa nyanyi itu, bisa joget juga. Bukan joget dangdut ya. Tapi akhirnya, aku membeli boneka-boneka saat setelah Hari Raya Idul Fitri. Aku bisa membeli boneka dengan uangku sendiri. Hm.

Sebenarnya masih banyak lagi, saat aku SD, SMP, tapi aku malas mau bercerita hal itu. Terlalu menyesakkan. Lagian semua itu membawa hikmah dan benar-benar mendidikku.

Gimana?

Ya, semakin lama aku semakin menjadi anak yang santei aja gituloo~
Aku jarang sekali gengsi dengan keadaanku. Aku selalu mengatakan sesuatu apa adanya. Terbuka dan menyukai kejujuran. Tapi hal ini tidak lantas baik setelah ku pikir-pikir, tidak semua orang bisa sepertiku. Dulu aku sangat frontal. Sekarang, masih sih, tapi sudah cukup bisa dikendalikan.
Aku merasa tumbuh dengan baik. Meskipun ada masa buruk dimana aku benar-benar menjadi seburuk-buruknya perempuan. Saat SMP. Aku sangat menyesali hal yang pernah kulakukan saat SMP. Hal yang buruk. Biarkan hal buruk itu menjadi kenangan yang terkubur di tanah yang paling dalam, di makan belatung, dan hancur. Allah sudah menutupnya, meski itu masih bisa terjadi beberapa waktu yang lalu. Dan aku tobat lagi.

Aku tidak berhenti untuk bertobat. Sampai akhirnya aku menyadari di dalam keadaan kuat dan lemah imanku, aku harus bisa harus bisa harus bisa membedakan mana hal yang boleh kulakukan dan mana yang tidak boleh. Sekuat tenaga aku harus mengingat komitmen diriku untuk diriku sendiri. Semoga Allah mengampuni kekhilafanku yang sudah kugantikan dengan tobat.

Semua itu, kekuatan itu, kekuatan untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi, dan menghilangkan kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan. Semua itu karena aku memiliki keluarga yang begitu baik dan selalu mengarahkanku ke hal yang benar. Jika tidak, aku tidak tahu lagi bagaimana aku jadinya? Aku selalu menjadikan keluargaku alasan, untuk selalu menjadi perempuan yang baik. Menjadikan Bapak dan Ibu alasan utama untuk diriku sendiri. Bahwa mereka layak untuk memiliki anak yang baik dan benar dalam menghadapi dan menjalani kehidupannya.

Sekalipun, aku pernah menyalahkan orang tuaku. Karena aku merasa tidak dididik dengan baik sehingga aku bisa melakukan kesalahan yang sangat amat aku benci jika aku mengingatnya. Tapi aku pikir lebih salah lagi jika aku terus-menerus menyalahkan seperti itu. Aku harus menyadari bahwa sebelum kebaikan pasti ada keburukan, sebelum kemudahan pasti ada kesulitan. Setelah menyadarinya, mengerti, dan memahaminya, aku tidak akan menyalahkan kedua orang tuaku. Mereka layak memiliki anak yang baik, sholih/sholihah, dan membawanya ke Surga Allaah. Maka aku harus terus berusaha untuk hal itu, membuktikan kepada mereka, dan terus melakukan hal yang membuat mereka tersenyum. Aku sudah dirawat sampai aku bisa berpikir dan bersikap seperti saat ini. Aku harus lebih dari mereka, maka mereka akan bangga kepadaku. Hidup dan matinya pun akan tenang. Apa lagi? Selain itu?

Bukan. Bukan seperti; saat kita mengetahui sesuatu hal yang benar kemudian kita terus menyalahkan orang yang salah dan menyesali perbuatan mereka. Tidak ada gunanya. Yang perlu kita lakukan adalah bertanggung jawab atas diri kita sendiri, dengan bekal ilmu yang baru saja kita mengerti dan pahami. Begitu saja cukup. Tidak lantas bersedih-sedih, merenungi dengan sedu sedan, dan terus memupuk kekecewaan. Bukan. Mungkin tidak mudah, tapi kita harus yakin bisa. Maksudku dalam hal ini adalah hal apapun, hehehe...


Lain cerita...
Memang tidak semua orang memiliki keluarga yang sama seperti keluargaku. Mungkin ada yang keluarganya tidak rukun sehingga harus terjembatani dengan ketidak-enakan hati atau kebencian masa lalu yang tidak pernah diselesaikan dengan baik dan benar. Mungkin ada yang rusak karena penghianatan. Mungkin ada yang seteru karena suatu kekeliruan. Atau mungkin ada yang selalu berada dalam badai tapi tidak tahan dengan goncangannya sehingga mudah sekali roboh. Banyak sekali permasalahannya.

Tapi percayalah,
Allah tidak pernah memberikan kita suatu ujian dan cobaan melebihi kemampuan kita. Kalaupun kita merasa suatu hal ini, tidak bisa kita hadapi. Allaah pasti bantu kita. Asal kitanya, mau tidak minta ke Allah, mau tidak memohon sama Allah, dan terus mendekati Allah?

Tapi kupikir. Semua itu sudah sesuai porsi. Kalian yang berada di keluarga yang, maaf, mungkin bermasalah, dan sebagainya. Kalian adalah orang yang lebih hebat, jika menyikapi keadaan sulit tersebut dengan baik dan benar. Dan yang utama, kalian akan lebih hebat lagi jika kalian lebih mendekatkan diri kepada Allaah. Kedekatan kepada Allaah itulah yang membuat kita mampu menghadapi semua itu sebenarnya. Siapa lagi? Selain Allaah?

Mungkin aku terlihat sok tahu, mungkin memang sangat berat pada kenyataannya. Tapi ingatlah, semua ini Allah yang mengatur. Selalu ada hikmah dibalik itu semua. Walaupun, ok, ada pihak yang salah, yang melakukan suatu kebodohan yang seharusnya tidak dilakukan, atau apapunlah yang intinya tidak seharusnya itu dilakukan. Tapi untuk apa kita berpikir seperti itu, jika saja, kalau saja, andai saja. Kenapa tidak kita ubah menjadi, sabar saja, ikhlas saja, dan kembali kepada Allaah saja. Sulit? Ya harus sulit memang untuk mendapatkan ketenangan itu. Tapi yakinlah, yakin saja, Allaah tidak akan meninggalkanmu jika kamu membutuhkannya. Kamu mau senang, kamu mau sedih, Allaah selalu ada. Setiap detik kamu butuh Allaah, Allaah siap menemani.

Gak kayak doi kan, sibuk mulu, nah! Ngakak gak lu :D
Kok aku ngakak sendiri ya...

Intinya itu hal-hal yang terjadi pada keluargamu. Sikapilah seperti itu, kalau mau. Kalau tidak mau, ya mungkin kamu punya cara sendiri. Tapi kamu harus bisa menghadapi.
Entah apapun itu, aku hanya bisa menyampaikan sebegitu.

Aku sedang belajar untuk tidak membenci atau mudah untuk menghakimi. Dan itu sulit. Karena untuk berhusnudzon itu emang sulit. Tapi harus, terlebih husbudzon kepada Allaah.
Mungkin setelah ini akan ku tuliskan tentang persimpangan takdir yang pernah disampaikan oleh seorang gurundaque. Setelah menyadari itu, aku langsung bisa lebih legowo atas suatu kejadian yang tidak kuinginkan.



Sekian ya.
Mohon maaf atas kesalahan kata dan kalimat.
Salam legowo!

Komentar

Postingan Populer