Jikalau Salah Mencabut Nyawa

Bismillah...

Setiap yang sehat pasti pernah sakit, setiap yang sakit akan kembali sehat. Tapi setiap yang hidup pasti akan mati. Semua hal yang berlawanan itu mungkin akan kita rasakan. Kadang dengan nikmat sehat kita merasa yang paling sehat, bisa melakukan apa-apa yang diinginkan. Pandai menjaga kesehatan tersebut, berusaha menstabilkannya dengan cara apapun. Tapi lupa bersyukur; "Alhamdulillah aku hari ini masih diberikan kesehatan, maka berikanlah ridhoMu ya Allah atas segala aktivitas yang kukerjakan saat ini dengan raga dan jiwa yang sehat". Bahkan menyadarinya saja, kadang tidak. Nikmat sehat seringkali diabaikan. Sehat ya sudah, sehat aja. Sedangkan saat sakit, kita selalu mengingat dan menyadari segala hal saat kita sehat. Menjadi muhasabah. Kita akan membuat suatu permohonan, menyebut kalimat Allah sebanyak-banyaknya. Dan selalu minta ampun atas rasa sakit tersebut. Begitulah~ HUMAN.

Aku ingin bercerita kembali...
Awalnya ini tentang keluarga. Tapi sebelumnya aku sudah menyadari, bahwa semua yang terjadi adalah takdir Allah. Dan kita yang hanya manusia harus ridho atas takdir yang sudah terjadi.

Ini tentang Mbah Uti, begitu aku memanggilnya. Mbah Uti, nenekku. Nenek yang selalu mengajarkan adab. Beliau adalah Ibunya Ibuku. Begitu melihat Mbah Uti, aku selalu melihat Ibuku juga di sana. Itulah mengapa, batinku, perasaanku, tak pernah tak nyaman dengannya. Aku menganggap Mbah Uti, seperti Ibu. Aku sangat mencintainya. Meski dalam kenyataannya, aku jarang bersama dengannya. Tapi batinku selalu menuju kepadanya.

Semenjak Mbah Kung, kakekku, ya Bapaknya Ibuku, meninggal. Mbah Uti hidup sebatang kara. Hidup sendiri di rumah besar itu. Yang entah, itu rumah atas nama siapa. Anak-anaknya? Ya, anak-anaknya sudah menawarkan untuk tinggal di rumahnya termasuk Ibuku, tapi seperti biasa, Mbah Uti orangnya -bingungan- jadi begitulah~ Akhirnya keputusannya; tidak ada keputusan. Mbah Uti tinggal sendiri selama kurang lebih 3 atau 4 tahun setelah kepergian Mbah Kung.

Seiring waktu berjalan dengan keadaan yang sama saja. Sebab anak-anaknya justru kadang lupa dengan beliau. Jarang menjenguk, dsb. Tentu saja, membuat Mbah Uti berpikir dan terus berpikir. Hatinya pasti nelangsa. Tapi tidak pernah ditunjukkan. Bagaimana aku bisa tahu? Aku selalu bisa menebak-nebak sepertinya. Entahlah, aku memiliki sinyal seperti itu saat melihat Mbah Uti.

Dari kejadian-kejadian semisal tidak pernah disambangi anaknya, tentu spontan, aku mengingat sinetron Ind*siar. Yang biasanya, pojok kanan atasnya ada tulisannya "Kisah Nyata". Dan alur ceritanya yang bisa ditebak, seorang Ibu/Nenek yang hidup sendirian. Anak-anaknya sibuk bekerja sampai tidak ada waktu atau memang tidak mau menyempatkan waktu untuk sekedar melihat keadaan Ibunya. Sampai pada saat Ibunya menumpuk emosi sampai segunung, meledak kemudian jatuh sakit, dan yang paling menyedihkan --yang membuatku meneteskan air mata saat ini-- Ibunya berakhir, kembali kepada Allah, meninggal.

Mungkin sinetron itu memang kadang ada pelajarannya. Tapi dari pelajaran itu, tidak semua orang bisa mengambil hikmahnya. Cerita sinetron itu memang nyata-nyata terjadi pada Mbah Utiku. Jika aku harus menuliskannya, akan panjang. Memang setiap anak memiliki keluarga sendiri, sibuk dengan keluarga, sibuk dengan kerjaannya. Tapi, ah sudahlah.

Kemarin tepatnya sekitar seminggu yang lalu, aku masih bertemu Mbah Uti. Beliau masih baik-baik saja. Aku tidak melihat tanda-tanda tidak baik dari beliau. Saat itu aku ke rumahnya untuk mandi, karena biasalah. Lingkungan rumahku airnya kadang mati. Sial betul, bayar mahal, tapi dapatnya seperti itu. Akhirnya, ya sudah mandi biasa. Saat itu, saat mau pulang, Mbah Uti juga sempat memberikan "blendrang" (yang tahu-tahu aja ya). Mbah Uti selalu begitu, memberikan apapun yang beliau punya untuk diberikan pada anak atau cucunya.

Beberapa waktu kemudian, aku mendengar Mbah Uti tidak enak badan. Dan lama-lama, tidak enak badannya menjadi kabar bahwa Mbah Uti benar-benar sedang sakit. Kami sempat menjenguknya di rumah, malam-malam. Itu sekitar 6 hari yang lalu. Kami menawarkan malam itu, Mbah Uti ikut ke rumah kami saja, tapi lagi-lagi tidak bisa menjawab. Entah mau tapi ada tapinya, atau memang tidak mau. Entah. Dan setelah itu Mbah Uti semakin down, akhirnya disuruh memilih untuk tinggal di rumah anaknya. Beliau memilih tinggal di rumah Bulek-ku.

3 hari di rumah Bulek, Mbah Uti tetap tidak tenang. Kondisinya pun semakin lemah sebenarnya. Tidak pernah bisa tidur. Sepertinya sudah 5 hari tidak bisa tidur. Selalu mengigau, menunjukkan sikap yang sangat aneh tapi selalu diwajarkan karena tensi tinggi, gula darahnya pun juga tinggi.

Kembali hari ke -3 Mbah Uti tinggal di rumah Bulek.
21 November 2018
Mbah Uti akan dibawa ke dokter spesialis penyakit dalam. Tapi Qadarullah, malamnya keadaan beliau semakin memburuk. Lemas, sangat lemas. Malam itu, beliau dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu, memilih Rumah Sakit Aisiyah. Ada nomor antreannya. Tapi Mbah Uti sudah pucat, lemas, masa iya harus mengantri sampai ke nomor 107. Gila. Aku heran dengan sistem ini. Sangat heran. Gitu aja. Akhirnya dibawa ke Rumah Sakit sebelahnya. Segera mendapat penanganan. Tapi hal ada beberapa hal yang aneh terjadi; setelah baring di kasurnya untuk beberapa menit selepas diberi infus dan sebagainya. Kata Bapak; tiba-tiba Mbah Uti melepas infusnya, turun dari kasur, dan berdiri.

Iki wis maghrib, iki wis maghrib iki...

Begitu ucap beliau, sambil melihat-lihat sekitarnya.
Kemudian ditenangkan untuk kembali tidur di kasur.
Malamnya Mbak Indah dan Dek Lia, saudara keponakanku yang menjaga Mbah Uti. Anak-anak Mbah Uti kemana? Entahlah. Pokoknya yang disuruh berjaga ya mereka. Aku? Aku di rumah bertanggung jawab untuk adik-adikku yang masih SD.

Katanya; malam itu Mbah Uti gelisah. Tidak bisa tidur lagi. Selalu bergerak. Beberapa kali infusnya sampai hampir lepas. Mbah Uti juga sempat berteriak memanggil Bapakku, ya, malah Bapakku yang beliau panggil. Tapi kemudian ditenangkan kembali oleh Mbak Indah. Berkali-kali Mbah Uti terbangun malam itu. Tidak tenang.

Keesokan harinya.
22 November 2018
Siap-siap nangis.
Pagi harinya. Aku bertugas menjaga karena Mbak Indah kuliah. Dan kuliahku jam 10. Jadi kami bergantian. Aku datang bersama Ibuku. Setelah masuk ruangan. Di sana sudah ada Bulekku (anak bungsu Mbah Uti) dan suaminya, juga Dek Lia. Aku langsung berkaca-kaca melihat keadaan Mbah Uti. Awal aku menatapnya adalah satu kata; Mbah Uti seperti orang linglung. Kupikir itu karena merasakan sakitnya. Memang aku merasakan, Mbah Uti bukan saja sakit gula. Oiya, pagi itu, tensinya turun, tapi gula darahnya tetap tinggi. Mbah Uti sedang makan saat itu, ku lihat masih bisa makan dengan baik dan minum juga dengan baik.

Tapi setelah itu, Mbah Uti kembali gelisah. Seperti; tiba-tiba ingin bangun. Berbicara pun sudah tidak terlalu jelas. Tiba-tiba juga melongo matanya melihat ke satu arah. Kemudian gelisah lagi. Kalau bahasa jawanya usrek. Ke samping kanan, kiri, tangannya ditarik sehingga infusnya hampir lepas lagi. Kemudian diingatkan lagi.

Buk, ojo eker ae. Buk e meneng. Anteng jajale. Engko infus e cepot, dicubles eneh lo. Antengo, Buk.

Bulek berkali-kali mengingatkan seperti itu. Mbah Uti juga menjawab. Iyo.
Tapi tetap saja tidak kunjung tenang. Kemudian aku mendekatinya, karena sejak datang aku hanya memegang kakinya kemudian berdo'a. Membacakan do'a untuk orang sakit. Dan 3 surat qul. Tak kunjung tenang.
Aku menggenggam tangan Mbah Uti sambil dzikir mengucap kalimat tahlil dalam benakku.
Mbah. Niki Dya, Mbah. Dya.

Aku menatap matanya. Beliau juga menatapku. Aku seperti tidak merasa ada Mbah Uti yang biasanya. Hanya membatin, kemana pikiran Mbah Uti. Kenapa tatapannya kosong. Hanya ku batin. Tidak ku ungkapkan kepada siapapun.
Ehm.. hem... Dya? Nadya?

Mbah Uti masih mengenaliku. Kemudian aku mengelus tangannya sambil mengucapkan do'a lagi. Tapi tidak lama, tangan Mbah Uti lepas dari genggamanku. Karena ya itu, gerak terus, gelisah, tidak tenang, terus saja bergerak. Usrek.

Setelah itu Ibuku pamit berangkat kerja. Tidak lama setelah itu, Bulek juga pamit bersama suaminya. Tinggal kami berdua, aku dan Dek Lia. Aku segera mengambil Al-Qur'an di tas, duduk di samping kasur sehingga posisiku di samping kepala Mbah Uti, aku menghadap kiblat, dan segera membaca Surat Al-Baqarah. Sesekali berhenti untuk menahan tangan yang di infus agar tidak ketarik, karena Mbah Uti terus bergerak tangannya, terus gelisah. Tapi aku juga tetap terus membacakan Al-Qur'an. Ku lihat Mbah Uti agak reda. Meskipun masih saja bergerak dan tidak terlihat tenang.
Kadang juga tiba-tiba memandangku membaca Al-Qur'an di sampingnya. Aku terus membaca dengan meresapi sedalam-dalamnya setiap kalimat Allah. Ku lembutkan suaraku agar Mbah Uti juga enak mendengarkannya. Aku menahan tangisku saat itu. Terisak dalam batin saja. Aku hanya ingin Mbah Uti tenang. Tanpa ku tahu ada malaikat Izrail juga di dalam kamar 222 itu.

Setelah membaca beberapa menit, kemudian datang Budhe-ku, istri dari Pakpoh (Paman). Pakpoh justru tidak datang, katanya sakit, flu apa gimana ga jelas. Tapi I try to positive thinking. Saat Budhe datang, Mbah Uti juga masih dalam keadaan gelisah dan tidak tenang, tetap terus bolak-balik ke samping kanan kiri. Sesekali infusnya hampir lepas lagi. Budhe bingung. Ya, karena memang tidak tahu Mbah Uti sakitnya gimana. Hm. Sudah lupakan saja tentang Budhe.

Beberapa waktu kemudian, asisten dokter datang.
Memeriksa Mbah Uti. Ditanya keluhannya, apa yang dirasakan, tapi Mbah Uti tidak nyambung kalau tidak diperjelas. Kalau ditanya mual jawabnya mual, ditanya pusing jawabnya pusing, ditanya kenapa cuma eh eh heh eh. Bibirnya seperti kelu mau mengucapkan sesuatu. Tatapannya pun menurutku sudah kosong. Mbak yang memeriksa terus bertanya, penyakitnya dulu apa saja, dsb. Sampai pada, kenapa bisa sangat gelisah seperti itu? Sekali lagi, karena kita tidak melihat ternyata ada malaikat Izrail di kamar 222 itu.

Jam menunjukkan pukul 09.51
Aku harus segera bergegas ke kampus. Dek Lia ku tinggal, karena ada Budhe dan juga Mbahku yang lain. Kemudian aku berangkat dengan langkah kaki cepat tapi hatiku berat juga pikiranku campur aduk. Mataku selalu berkaca-kaca. Aku merasa tidak enak hari itu.

Sampai kampus. Aku segera berwudhu. Untuk membersihkan diri, karena saat menuntut ilmu harus dalam keadaan bersih dan suci. Menuntut ilmu juga termasuk ibadah, bukan? Aku menangis di dalam basuhan air wudhu, tidak bisa terbendung lagi. Tapi aku harus menyingkirkan emosi itu. Aku harus fokus kuliah.

Sore hari.
Aku berkali-kali mengaktivkan data seluler. Yang biasanya sangat jarang kulakukan ketika berada di jam-jam perkuliahan. Aku sesekali selalu membuka hp. Tapi masih tidak ada kabar apa-apa. Baiklah. Mungkin semua baik-baik saja. InsyaaAllah. Pikirku.

Kemudian pukul 16.30 -an.
Perkuliahan hampir selesai. Aku segera pulang saja ke rumah, tanpa melihat hp.
Sampai rumah, ingin segera mandi dan istirahat. Kutanya ke Adikku, katanya Mbah Uti kritis. Bapak pun ke sana, ke Rumah Sakit. Aku membuka hp mengaktivkan wi-fi, dan Mbak Indah juga memberikan kabar pukul 16.38, bahwa Mbah Uti kritis. Aku membalas pukul 17.07, menanyakan sekarang kondisinya kenapa, dibawa ke ruang apa, dan aku juga menjelaskan baru saja pulang kuliah.

Semenit kemudian.
Mbah Uti mpun gak enek Dek. Ndang mriki.

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un... 

Aku menangis sekencang-kencangnya di rumah. Di rumah hanya ada adik-adikku. Aku menangis sepuasku. Aku benar-benar kehilangan. Aku sangat sedih. Kuhabiskan saat itu, mencoba kuhabiskan tangisku di rumah saja. Aku seperti kehilangan Ibu Tua ku. Kenanganku bersamanya sesaat berhamburan di kepalaku. Mbah Uti secepat itu kembali kepada Allah.

-Sambil nangis lagi, nulis ini-

Ba'da Maghrib.
Aku berangkat ke rumah Mbah Uti.
Setibanya di sana kupikir aku akan tegar dan tidak menangis lagi. Melihat jenazah Mbah Uti yang sudah dibungkus kain kafan dan segera di tali. Tangisku tiba-tiba semakin menjadi-jadi. Aku sempat balik badan. Tidak ada yang memelukku, hanya Mbak Indah mengusap punggungku. Aku menangis terus. Kemudian aku tersadar kedua adikku, aku merangkulnya sambil masih menangis. Setelah itu aku maju selangkah menatap untuk terakhir kalinya. Aku semakin menangis, apa daya tiang rumah kujadikan sandaran. Tanganku melingkar di tiang itu sambil menangis tersedu-sedu. Kupuaskan tangisku saat itu, untuk terakhir kalinya menatap Ibu yang melahirkan seorang Ibu yang hebat, dia adalah Ibuku. Aku seperti kehilangan Ibuku, aku juga seperti merasakan kesedihan semua Ibu di situ.

-Lagi-lagi sambil menangis untuk menuliskan ini- 

Setelah semua selesai.
Aku segera berhikmah. Kematian bisa hadir pada siapa saja dan kapan saja.
(Btw, ini sambil now play untuk perempuan yang sedang dalam pelukan cover Gitasav) Sendu!

Ya. Semua yang hidup pasti akan mati, Nad.
Aku mencoba menyadarkan diriku sendiri. Semua hanya tinggal menunggu antrean untuk kembali kepada Allaah. Kita semua ini sudah divonis akan mati bahkan sebelum kita dilahirkan. Dan setiap kita, sadarlah, sudah ditetapkan jadwal kematiannya masing-masing. Dimana saja kamu berada kematian bisa saja akan menghampirimu, kendatipun kamu berada pada benteng yang tinggi lagi kokoh. Meski kadang, kematian adalah hal yang paling jauh dari pikiran kita, walaupun sebenarnya ia lebih dekat dari segala yang dekat dengan kita. Bila sudah waktunya, maka akan mati jua.

Yang aku takutkan sekarang, jika suatu hari aku tidur dan tidak bangun lagi. Sementara amalku belum cukup, ibadahku berantakan, dan masih ada orang-orang yang tersakiti hatinya olehku. Semoga Allah memudahkan jalan bagiku untuk selalu bertobat dan mencari ridhoNya di sisa waktu yang ada.
Sekali lagi, maaf, bila diantara kalian ada yang pernah tersakiti oleh lisan dan tangan ini.

Pada kalimat laa ilaaha illallah kita memulai perjalanan kehidupan, dan pada kalimat itu juga yang ingin kita capai nantinya saat di akhir-akhir kehidupan. Kapan? Saat menjelang ajal kita.

Di perjalanan pulang, tengah malam.
Aku masih saja berpikir. Saat aku mengaji di kamar saat itu. Bagaimana jika malaikat Izrail memilihku untuk dicabut nyawanya?
Air mataku kembali menetes.

Kematian tetap akan datang pada kita.
Sudah siapkah?
-Nangis lagi-

Selamat bermuhasabah, menyambut kematian.
Sekian.

Komentar

Postingan Populer