Judge Me and I am Enjoy with Allah

Bismillah...

Alhamdulillah. Ketemu lagi di bulan yang baru lagi. November 2018 M, Safar 1440 H.
Semoga tidak ada keluh kesah atas rasa yang semacam; waktu berjalan begitu cepatnya. Senantiasa bersyukur atas segala kesempatan yang Allah berikan. Dan tidak berbangga diri terlalu berlebihan, sebab hakikatnya semua ini tetap hanya sementara. Rasanya damai, tapi tetap ada rasa was-was karena mati tidak mengenal apa pun kecuali waktu mendadak, hanya itu. Meskipun berdalih, sehat-sehat saja, tapi sekali lagi tetap, mengingat mati itu perlu.

Disclaimer: cerita di bawah ini sama sekali bukan sebuah judgment untuk seseorang. Saya hanya akan mengambil hikmah dibalik cerita ini. Siapa pun yang merasa tidak sama pandangannya dengan apa yang saya tuliskan, itu bukan menjadi tanggung jawab saya untuk menyamakan. Semua cerita pure dari yang mengalami sendiri.

Jadi beberapa bulan yang lalu. Mungkin kurang lebih sudah berjalan 1 tahun. Mbak ponakan saya baru saja memiliki anak. Ya, setelah menikah beberapa bulan sebelumnya tentunya (aelah -_-). Saya tidak terlalu dekat dengannya. Bahkan sangat amat jarang berbicara dengannya. Ya tentu, semua ini ada awal mulanya. Awal mula kenapa saya tidak pernah berbicara dengannya. Kenapa? Awalnya memang saya ini orang yang pendiam, tapi TBH saya orangnya bisa mengikuti alur pembicaraan kalau diajak berbicara, saya bisa menyesuaikan. Terus sebenarnya apa sih yang mau dbicarakan? H, tenang, sabar. Saya ingin menjelaskan dulu kenapa saya tidak dekat dengan Mbak ponakan saya ini, Tapi saya tahu cerita-ceritanya.

Mbak ponakan saya itu adalah anak dari Kakaknya Ibu saya. Paham? Ya sudah, terserah mau paham apa tidak. Jadi, Ibu saya dan Kakak laki-lakinya itu memiliki sebuah masa lalu yang dihabiskan bersama. Berjuang bersama untuk kehidupan sekarangnya. Saya tidak tahu pastinya, tentu semua cerita bersumber dari Ibu saya sendiri. Katanya, dulu Ibu menumpang di kontrakan kakaknya itu. Semua-semuanya Ibu masih menumpang. Kecuali uang kuliah, gak nebeng. Tapi di kontrakannya itu, Ibu selalu bekerja. Rasanya saat itu, tidak sepenuhnya gratis. Ibu yang masih kuliah, harus mencuci baju-baju kakaknya, mencuci piring, menyapu, bahkan kadang Ibu juga disuruh masak. So, Ibuku yang teramat sangat baik hati ini (menurutku), manut saja. Dilakukannya semua itu dengan lapang dada, sekaligus menyadari bahwa dia hanya menumpang di kontrakan itu, tanpa bisa ikut andil membayar uang bulanan kontrakan. Ibuku memang orang yang selalu sadar diri.

Seiring berjalannya waktu...
Sampai pada saat ini, sampai pada puncaknya Ibu meraih pencapaiannya. Semua yang telah berlalu, selalu diungkit. Ibuku menjadi seorang pegawai negeri dan kakaknya tidak mampu mencapai hal tersebut, padahal sama-sama kuliah. Entahlah. Giliran sekarang sudah mencapai apa yang di cita-citakan, Ibu selalu mendapat sarkasm dari kakaknya. Katanya, dulu saat kuliah yang menghidupi Ibu adalah kakaknya. Tapi Ibu merasa tidak dibegitukan. Selalu, Ibu dikira sombong dengan segala pencapaiannya oleh saudara-saudaranya (Ibu memiliki 4 saudara kandung). Tapi Ibuku (bagiku) adalah orang yang terendah hati di dunia ini. Tapi peringkat satu tetap, Bapak sih. Hehehe. Ya kedua orang tuaku selalu mengajarkan ketawadzu'an yang tinggi. Riya' adalah hal yang paling kita berusaha untuk hindari, takabbur apa lagi. Sejak hidup berdua, Bapak dan Ibu memang mengawalinya dari 0 (nol), dari yang sobat kismin bangetlah. Mereka berdua tidak punya rasa gengsi untuk menjalani segala bentuk hidup yang bagaimana pun. Makanya, bisa mencapai apa yang mereka harapkan. Tentu semua atas izin Allah, yha!

Lama-lama, gak nyambung gak sih?

Ok. Jadi gini, semua itu awal kenapa aku tidak terlalu dekat dengan Mbak ponakanku. Mungkin mereka mendapat susupan dari orang tuanya alias kakaknya Ibuku alias Bapaknya Mbak ponakanku alias Pamanku, aku pun juga begitu. Entah ini, bukan mencari salah dan benarnya. Intinya, aku percaya Ibuku bercerita tentang kisah yang nyata. Kisah mengharukan sepanjang masa. Ibu tidak pernah bercerita tentang kisah yang dusta dan tidak terbukti. Aku sendiri pun, mengerti dan paham betul bagaimana karakteristik Pamanku pun juga bagaimana sifat itu menurun juga ke anaknya. Baiklah, tentu kita perlu juga untuk merenungi bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Dari hal-hal itu, aku belajar mengenai sebuah pendidikan menjadi orang tua dan pendidikan untuk membentuk karakter anak. Semua sumbernya ada pada; orang tua. Setelah memahami semua itu. Aku percaya, karakterku sekarang pasti juga bercampur dengan DNA orang tuaku. Tapi, yang perlu di garis bawahi, tidak semua karakter itu sepenuhnya menurun yang "baik-baik"nya saja. Pasti adalah yang tidak baik. Nah, yang tidak baik tersebut harus kita sadari sendiri. Dan harus dihilangkan. Bagaimana caranya seperti itu? Ya, makanya kita perlu mengenali diri sendiri. Memilah mana baik dan buruknya kita. Yang baik; di istiqomah-kan. Yang buruk; di perbaiki atau mungkin di hilangkan sekalian. Jangan sampai kita loss our privacy. Kita bahkan bingung, kita ini siapa, kita ini bagaimana, maunya apa, harusnya seperti apa? Jangan begitu.

Kembali lagi ke kasus pertama.
Dari situ aku tidak bisa lagi memulai bagaimana aku bisa akrab dengan Mbak ponakanku. Tapi ya sudahlah. Pasrah. Yang penting tetap baik saja kalau bertemu. Sayangnya, mau memulai silaturahmi pun juga sulit sekali. Ada penyebabnya? Ada. Bukan malas, bukan tidak mau. Tapi adalah... Perlu kuceritakan kah? Awalnya begini, Bapakku termasuk orang yang sangat menyukai silaturahmi. Alhamdulillah, jiwa sosialnya tinggi. Bapak sudah sering bersilaturahmi kepada kakak-kakaknya Ibu. Tapi tidak ada hal yang menyeimbangkan hal tersebut. Bukan untuk mendapat balasan kembali. Tapi tidak ada keseimbangan setelah Bapak mengawali hal tersebut. Aku pun berpikir; ya, kita percuma terus-terusan menggerutu untuk hal seperti ini. Merasa tidak terima. Awalnya Bapak begitu, tapi sebagai anggota keluarga yang bebas mengaspirasikan pendapat, aku selalu angkat bicara. Pihak seberang tidak memahami apa maksud kita. Jadi, biarlah sudah, itu sepertinya karakter yang belum dibenahi dari mereka. Bayangkan saja, banyak hal-hal yang tidak memiliki nilai etika sebenarnya di sini. Tidak perlu kusebutkan dengan jelas. Pada intinya, kurangnya pelajaran adab. Ya, aku juga masih kurang, perlu belajar. Makanya dengan memilah kejadian-kejadian tersebut, memikirkannya, singkat kata "MUHASABAH" kita bisa membenahi hal-hal yang salah. Setidaknya kita harus cepat untuk sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Alright, makin melenceng aja.
Jadi, (sudah berapa banyak jadi dari awal tadi?)
Karena aku tidak akrab, aku mencoba menceritakannya dari pertemuanku dengan dia dan dari cerita Ibuku sendiri tapi juga. Kali ini aku bercerita dari kisah yang diungkapkannya sendiri.

Sejak anaknya lahir, saat itu dia menyadari satu hal tapi diabaikan begitu saja. Dia bilang, ubun-ubun anaknya tidak berdenyut. Itu suatu hal yang tidak wajar tentunya. Itu awalnya, sampai pada waktu anaknya semakin menunjukkan hal-hal yang semakin tidak wajar; seperti kejang, jarang menangis, dsb. Katanya, semua dokter tidak paham begitu dalam. Tidak bisa memberi kejelasan secara pasti. Memang ini takdir Allah. Anak itu barangkali termasuk ABK. Apa itu? Silahkan searching sendiri. Yang tentu sama sekali tidak diinginkan oleh siapapun, terlebih orang tuanya. Dan tentu saja gak ada penyembuh karena memang bukan penyakit. Sejak awal pertemuan sperma dan sel telur sampai bersatunya, wa allahu a'alam itu menjadi rahasia dibalik rahasia. Baiklah, aku tidak perlu bercerita tentang anak yang masih berumur 6 bulan itu. Rasanya tidak tega. Dia sudah tenang di Surga.


Tapi di sini Mbakku justru mendisclaimer bahwa jangan menghubungkan dengan perilaku orang tua sebelumnya, jangan menuduh bahwa orang tuanya seperti ini seperti itu. Banyak sekali tuduhan-tuduhan yang datang pada keluarganya. Ini salah satu kebiasaan di sociality kita. Men-judge kehidupan seseorang secara kasar. Sangat kasar. Suka memberikan persekusi yang menohok dan menyakitkan. Ini tentu hal yang tidak beradab. Dan pihak yang menjadi korban omongan ini juga (menurut saya) menyadari juga atas segala tingkah laku yang barangkali disadari setelah mendengar olokan dari orang lain. Ok, mungkin ini kurang jelas. Akan kuperjelas, terlepas dari kisah di atas.

Menurutku, kita boleh saja memberikan nasehat untuk orang lain. Sangat boleh dan terkadang perlu. Bukan menjadi merasa lebih baik dari orang lain. Tapi memang kita hidup adalah untuk saling mengingatkan menuju kebaikan. Tanpa perlu menunggu kita menjadi baik. Ini salah. Kita harus hidup ketersalingan dalam kebaikan dan kebenaran. Tidak baik jika kita terlalu masa bodoh, ada kebodohan dan diam saja, maka apa bedanya? Sama-sama tidak baik di sini. Beberapa orang ada yang lebih memilih diam saja memang, tidak peduli, bahkan tidak ingin tahu sama sekali. Tapi di masyarakat kita berkomentar menjadi sudah menjadi habit. Judgment; menjadi sudah sangat biasa. Persekusi yang kasar. Semua hal tersebut tanpa diiringi dengan adab, motivasi, dan solusi. Justru kebanyakan malah bikin mental yang kena musibah semakin down. Ini bad sih. Seharusnya kita merangkul, mengajaknya untuk lebih mawas diri, dan memberi solusi bahwa semua ini adalah Allah yang mengatur. Bahkan lebih baik lagi, bisa membuatnya kembali kepada Allah secara kaffah. Ya, kita menjadi pengantar hidayah yang diberikan oleh Allah. Itulah semestinya.

Di sisi lain...
Pada korban judgment; kita tidak bisa menghalangi pikiran orang lain. Kita mau semarah apa, sejengkel apa, pikiran mereka ya milik mereka. Terus kita harus diam saja, gitu? Tidak. Kita boleh membela diri ketika mental kita mulai diserang dengan hal-hal semacam judgment ini. Kita merasa tertekan, tersudutkan, dan terdiskriminasi, harus membela diri. Ini harus kita lakukan. Why? Ya karena kita gak mungkin membiarkan diri kita larut dalam keburukan yang mereka katakan. Tapi yang menurutku perlu di garis bawahi di sini adalah ketika kita mendapatkan judgment, kita juga perlu mengulas kembali apa yang mereka katakan (di sini bukan sebagai netizen lo ya, kamu sama orangnya sudah pernah bertemu secara langsung, bukan hanya sekedar melihat dari social media). Kita kadang perlu mendengarkan ucapan mereka. Bukan juga berarti, kita mengikuti apa yang orang lain mau. Di sini lebih pada mengulas kembali kepribadian kita. Kadang meskipun kita merasa sudah mengenali diri sendiri, lebih tahu diri kita sendiri tapi ilmu kita ternyata terbatas, sehingga ternyata ketika begitu yakin dengan diri sendiri, ada beberapa kesalahan di situ. Semua hal yang ada pada diri kita sendiri, kita yang bisa melihatnya. Tapi untuk menyadari apakah itu sebuah kesalahan atau bukan, kadang kita butuh bantuan orang lain. Jadi, kita tidak bisa merasa independen sebenarnya. Independen rasanya kurang komprehensif dalam hal ini. Kita ini hidup karena tangan Dzat Yang Maha Besar. Kalau dosen auditing saya bilang: INVISIBLE HAND. Kita ini atas kendaliNya je! Gak bisa kita itu merasa bisa dan hebat sendiri. Lah sombong amat kalau ngerasa gitu. Di sentil Tuhan dikit aja sudah nangis sesenggukan kita nih. Kita juga hidup dengan manusia lain, kita butuh mereka, gak mungkin tidak. Jadi di sini, kita boleh membela diri tapi di sisi lain juga mengulas omongan orang lain, apakah benar aku seperti itu? Mana yang salah? Hal ini mungkin harus dengan bantuan orang lain.

Mungkin beberapa orang ada yang begitu ngeyel, tidak terima dengan kesalahan yang dilakukan orang lain. Meminta orang lain bertanggung jawab. Padahal atas kesalahan orang lain, kita terkadang harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Tidak selalu seseorang yang bersalah dan harus bertanggung jawab. Saya mendapatkan pelajaran ini dari seorang blogger Mark Manson. Dia menulis buku, The Subtle Art of Not Giving a F*ck. Nilai yang paling saya ingat ya mengenai kesalahan dan tanggung jawab itu. Kalau mencernanya kembali memang lebih baik begitu. Itulah suatu kedewasaan. Karena setiap kesalahan sekecil apapun itu akan kembali pada kita entah dalam bentuk yang bagaimana. Saya jadi ingat pesan dari novelnya Tere Liye, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu; bahwa semua itu terjadi karena sebab-akibat. Sepertinya ada benarnya, memang semua yang kita lakukan akan di kembalikan pada kita. Sekecil, sesepele apapun itu. Jadi untuk apa kita ngotot untuk selalu meminta tanggung jawab orang lain ketika kita sendiri seharusnya menyadari bahwa kita harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Loh, mana bisa? Bisa. Asal kamu masih sadar bahwa kamu punya Tuhan. Ya, Allah itu satu-satunya yang bisa kita datangi kapan pun, di manapun.


Entah kenapa, keresahan yang dibuat manusianya sendiri kemudian yang disalahkan orang lain. Kemudian salinglah mereka berseteru. Timbul permusuhan. Dan sebagainya. Begitukah hidup ini, kenapa disebut mataa'ul ghurur (kesenangan yang menipu). Semua ini hanya tipuan, permainan. Kita harus menyadarinya. Maka, jangan terlalu banyak di seriusin kecuali untuk kehidupan yang abadi kelak.

Mungkin itu yang ingin kusampaikan. Mohon maaf bila banyak kesalahan.
Thx!

Komentar

Postingan Populer