Reformasi Diri; Berdua Part 1

Bismillah/



Terlambat satu hari, untuk menuliskan kisah yang baru saja terukir beberapa waktu di fase hidupku yang saat ini. Semua terjadi bukan karena kita ingin, tapi karena Allah berkendak. Namun ketika kita menginginkan, Allah bisa jadi tidak menghendaki untuk terjadi. Kita hanyalah manusia biasa, meski memang ciptaan sempurna dari Sang Pencipta; tapi kita tetap lemah. Adanya kelebihan dan kekurangan yang akan menjadikan keseimbangan dalam kehidupan. Mungkin.


... Mei 2020
Saat aku sama sekali tidak berpikiran bahwa kamu akan merencanakan sesuatu yang bagimu adalah spesial. Aku yang saat awal bulan, selalu mencari-cari masalah, sedang masalahmu sendiri sama sekali bukan hanya soal "diriku". Banyak. Atau memang begitu perempuan kalau ia ingin sekali segera diperhatikan. Egonya begitu tinggi. Pun rasa rindu dalam hatinya yang juga tak dapat ditampung terlalu lama, semakin banyak. Apa hanya aku yang begitu?

Akhirnya, kalimat-kalimat rahasia itu selalu diungkapkan.
Diri menuntut kepastian, sebagai sewajarnya seorang perempuan terhadap laki-laki yang katanya begitu menaruh hati sepenuhnya. Tapi semua memang butuh waktu untuk mempersiapkan, katanya; karena hal dalam ungkap mengungkapkan bukanlah hal yang bisa dibuat main-main. Ini hal serius, yang perlu dipertimbangkan sebelum pelaksanaan.

Dan sekali lagi, adakah perempuan yang ingin selalu menjadi penunggu sebuah ketidakpastian? Jika tidak ingin, maka jangan coba-coba menempuh jalan yang sedang ku tempuh. Ya, pilihan yang paling aman adalah jangan membuka hati sebelum berani untuk berkomitmen dalam ke-belum-pastian. Namun jika ingin, maka bersabarlah apabila menemui hal-hal yang membuatmu sama sekali tidak nyaman. Ku rasa, ada banyak juga memilih jalan ini.

Ku katakan beruntung atau tidak, yang jelas aku hanya ingin membersamai seseorang yang memiliki jiwa tanggung jawab yang besar. Sekecil apapun hal yang ia lakukan, harus disadarinya bahwa bersama hal yang dilakukan selalu ada tanggung jawab yang harus dilaksanakan pula. Tiap-tiap pilihan juga sepaket dengan risikonya. Sejauh ini dia selalu menyadari tanggung jawabnya. Dan aku suka.

Walaupun beberapa rencana ia sembunyikan dengan baik. Tapi lama-lama, aku pasti akan menyadari. Dan lebih baik untuk bersikap tidak tahu apa-apa. Apapun usahanya akan selalu ku hargai, tapi bukti nyata dengan tindakan akan lebih memudahkan untuk memberi nilai. Apakah dia memenuhi kategori meyakinkan atau tidak?


20 Mei 2020
Siang itu tidak ku sangka, sebuah kalimat ajakan kamu lontarkan padaku.
Memintaku untuk menemaninya out; berbuka puasa berdua. Dengan mengabaikan, bahwa mungkin ini bagian dari rencanamu untuk yang spesial itu. Apa lagi? Aku tidak bisa. Tidak bisa menolak. Karena memang sudah berbulan-bulan tidak bertemu, hemm... entah bulan atau minggu. 

Lagi-lagi karena terkadang wanita sangat ajeg berdrama. Jadilah aku sore itu mendadak ingin berdiam diri; tapi bukan nahan PUP #apasi. Pokoknya aku pura-pura ngambek aja. Kelihatannya chilldish tapi biarkan drama ini tetap berlanjut. Di bawah langit sore yang cukup gelap, tertutup oleh mendung yang tebal, kisah sore itu di mulai!

Saat di perjalanan tidak ada obrolan seperti biasanya kita menikmati perjalanan berdua. Aku diam, kamu diam. Berdua sibuk dengan percakapan dalam hati, mungkin akan lebih banyak asumsi ketika komunikasi dihentikan. Ternyata benar. Selanjutnya...

Belum ada setengah jalan dari tujuan, hujan mulai turun. Ku pikir hanya gerimis biasa, tapi lama-lama banyak juga seperti diguyur air bah. Aku meminta untuk lanjut, tapi kamu ragu. Aku tetap dengan sikap yang lebih dingin dari cuaca saat itu. Akhirnya kamu memutuskan untuk menepi di depan warnet. Berteduh seadanya. Dan aku hanya bisa mengikuti saja. Malas berkata-kata.

Saat berteduh pun; kamu menjauhi aku yang sedari tadi diam saja. Aku mencari tempat yang cukup aman, agar tidak terkena hujan yang saat itu disertai angin kencang. Tapi kamu malah mendekati tempat yang tidak aman, hujan yang begitu derasnya mengguyurmu perlahan dan kamu tetap diam saja di sana. Beberapa waktu kemudian, saat kamu jongkok; entah itu sedang berdo'a atau melakukan ritual khususmu yang tak ku ketahui sama sekali, apa itu. Mobil dari timur melaju sangat kencang, sehingga genangan air di jalan raya membuncah ke kiri dan mengenai seluruh tubuhmu. Sial, ingin rasanya aku menarik tanganmu, membawamu untuk berteduh lebih baik bersamaku. Tapi rasanya tidak ada tenaga. Aku tetap ingin diam.

Setelah melihatmu sudah cukup basah kuyup. Lama-lama aku tidak tahan, ingin bergerak tapi tidak mampu. Dan yang bisa ku lakukan hanya diam memandangi hujan yang semakin lebat saja. Hatiku mulai resah. Serasa seperti di pinggiran jalan sendirian karena kamu pun juga diam. Cuaca semakin dingin, tapi wajahku memanas, mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingin menangis sejadi-jadinya.

Menangis di bawah hujan.
Rasanya lega sekali, bisa menumpahkan keresahanku. Tidak peduli saat itu, dengan menangis apakah puasaku batal atau tidak. Pokoknya aku ingin menangis saja sampai hatiku bisa tenang. Dan kamu, tentu kamu semakin khawatir saat itu. Aku tahu, kamu pasti bingung harus berbuat apa. Semua tidak sesuai dengan apa yang sudah kamu rencanakan. Waktu berjalan semakin cepat, sebentar lagi adzan Maghrib dan hujan masih saja lebat. Aku berpikir saat itu, ingin pulang saja, berbuka puasa di rumah. Tapi aku tahu, jika pulang ke rumah, maka kamu yang akan merasa sangat kecewa; bukan denganku, melainkan dengan dirimu sendiri. Aku tahu, mungkin semua ini membuatmu sangat bingung. Keadaan yang sederhana, tapi sangat mengecewakan karena kamu sedang berusaha untuk mewujudkan hal yang bagimu spesial untuk seorang yang spesial untukmu.

"Aku pengin pulang."

Motor tua sedang mogok.
Kamu berusaha untuk mencarikan jas hujan untukku. Padahal aku ingin langsung pulang saja, apapun keadaan saat itu. Tidak peduli. Aku ingin sekali pulang dan bisa berbuka puasa bersama dengan nyaman. Tapi kamu tidak mungkin membiarkanku basah kuyup. Lagi-lagi, kamu harus hujan-hujanan lagi. Saat mau berangkat, menyalakan motor, berkali-kali motor di starter, tidak nyala. Kamu coba beberapa kali. Tidak nyala juga. Kamu tetap memaksa, menyalakan motor. Aku bahkan tidak tega untuk memandangimu seperti itu. Sampai aku lihat kembali, sepertinya kamu sudah melaju. Ku tunggui, sampai adzan Maghrib benar-benar telah berkumandang. Perutku mulai keroncongan, tenggorokanku terasa lebih kering; aku bahkan memikirkan hal gila, seperti berbuka puasa dengan air hujan saja. Kamu lama sekali, tidak kunjung datang rasanya.

Melihatmu menuntun motor mogok di kejauhan.
Ingin menangis lagi rasanya, tidak tega!!! Tapi aku tetap pura-pura tidak tahu dan memilih diam. Akhirnya, kamu mendatangiku kembali dengan kabar yang tidak menggembirakan. Motor memang masih tetap mogok. Dan rencanamu; untuk menuruti keinginanku makan bakso Pak Dul dan Es Teler OKE, FAIL!!! Improvisasi dengan makan sate gule dan minum air putih. "Alhamdulillah, kamu sudah berusaha dengan baik, Sayang", ucapku dalam hati saat itu. Saat berada di warung sate gule pun, aku belum berkeinginan untuk mengucapkan sepatah kata pun. Aku masih ingin menyimpan kalimat-kalimat dari mulutku, yang kadang ku khawatirkan akan menyinggungmu. Karena di saat seperti itu, kamu pasti sedang merasa sangat gagal. Jadi lebih baik, aku hanya mengikuti langkahmu, membantumu jika diperlukan, dan diam, tidak banyak bicara.


Bersambung...

Komentar

Postingan Populer