Seorang Sulung Dengan Segala Effort-nya Menuju Real of Life

Bismillah...

Beberapa orang yang menyandang status sebagai anak sulung atau anak yang lahir pertama rasanya memang luar biasa. Mungkin kadang terbesit rasa ujub pada diri karena berada di posisi pertama, yang segala halnya selalu terpenuh dengan baik. Menjadi yang terspesial sebelum makhluk bernama ‘Adik’ hadir di kehidupannya. Tapi sepertinya hal ini tidak pernah berlaku bagi saya, seorang perempuan sulung yang hanya menikmati kesendirian selama 17 bulan sebagai anak pertama yang dilahirkan. Setelah itu anak kedua atau adik pertama saya lahir.
Awalnya saya pikir, saya akan hidup selamanya bersama satu adik laki-laki. Namun beberapa tahun kemudian muncul dua anak lagi. Slogan ‘dua anak lebih baik’ memang sama sekali tidak berpengaruh signifikan terhadap orang tua saya. Saat Bapak menyiarkan kehadiran anak ketiga atau adik kedua saya tidak begitu berpikir panjang, masih biasa-biasa saja. “O punya adik lagi, hehehe”, mungkin begitu respon saya. Namun setelah Bapak menyiarkan kehadiran anak keempat, saya langsung syok. Sebagai anak sulung perempuan yang saat itu masih kelas tiga Smp saya sudah mulai merasa bakalan punya banyak tekanan dan akan menanggung beberapa beban di pundak. Dan sebagai perempuan yang jika mendengar kabar nge-jleb ­di hatinya, tentu saya menangis. Bukan menangis bahagia, tapi merasa teriris.
Seiring berjalannya waktu menjalani tempaan menjadi anak sulung. Saat ini saya mulai merasakan tempaan itu semakin berat saja rasanya. Sebagai anak sulung dan seorang mahasiswi semester akhir yang sedang mengerjakan tugas akhir. Saya tambah kelimpungan mencari-cari jati diri. Ngapain sih nyari jati diri? Iya biar tahu apa yang mau saya jadikan tujuan dan merealisasikannya. Jika tidak begitu, saya sebagai sulung women tentu akan menerima cemoohan dari berbagai pihak. Lha wong kalau punya tujuan aja masih dicemooh, apa lagi yang gak punya tujuan sama sekali. Lalu apa sich tujuan yang saya maksud itu? Yha, salah satunya apa lagi kalau bukan punya pekerjaan mumpuni dan menghasilkan cuan yang nyukupi. Kenapa sih semua-semuanya harus pakai duit L
Dalam fase pertumbuhan menuju real of life ini #ciee, saya benar-benar berusaha ingin berusaha gimana caranya bisa meringankan beban orang tua saya. Meskipun hanya dengan cara; saya harus mengambil beban saya sendiri dari orang tua. Artinya saya harusnya sudah berani menanggung semua kebutuhan saya sendiri. Dan sempat terpikir, saat ini saya ingin sekali bisa membantu orang tua saya, untuk sekadar bisa nyangoni ketiga adik saya. Semua anak sulung pasti gak pernah mau terlampau sering ‘tangan di bawah’ kepada kedua orang tuanya. Bapak saya wiraswasta dan ibu saya pns. Namun penghasilannya menjadi tingkatan kurang, sebab adik saya yang satu juga kuliah dan dua adik lainnya sekolah semua. Maka saya adalah satu-satunya harapan mereka, untuk dapat membantu. Walaupun orang tua saya tidak pernah mengucapkan sepatah dua patah kata untuk meminta saya membantunya, tapi anak sulung mana yang hanya tinggal diam melihat keadaan genting orang tuanya?
Mungkin hanya hal kecil yang sementara dapat saya lakukan. Saya harus sering-sering menahan diri dan melakukan apa saja yang sekiranya hal tersebut bisa meringankan pundak orang tua. Sekecil; mengambil alih semua pekerjaan rumah, antar jemput sekolah adik-adik, tidak ikut-ikutan hunting bareng teman lagi (membuang waktu hanya untuk kesenangan), tidak lagi kongkow di café yang instagramable dengan segala ketidakbermanfaatannya, dsb. Hal yang berpotensi ‘keluar duit’ untuk sesuatu yang tidak berfaedah, saya tinggalkan. Pokoknya saya rela untuk sementara menahan diri untuk semua yang di luar kebutuhan. Bahkan kadang sampai berpikir, saya rela bersakit-sakit dahulu sampai saya benar-benar at least  meringankan beban orang tua. Selalu berpikir keras, bagaimana saya bisa memberikan yang terbaik bagi Bapak, Ibu, dan Adik-adik saya. Karena pasti akan sangat memalukan ketika saya tidak bisa memberikan apa-apa kepada mereka semua. Sekuat tenaga, seorang sulung pasti ingin selalu berusaha melakukan yang terbaik. Apabila hasilnya tidak memuaskan, ya mungkin harus berusaha lagi melakukan yang terbaik sampai kapanpun. Memaksa diri? Kadang saya pikir memang begitu. Meski diingatkan oleh lirik lagu Mas Kunto Aji yang judulnya ‘Sulung’, “Yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri”. Tapi saya tidak peduli, wkwkwk. Meski juga kadang saya lelah karena adik-adik saya belum ada yang berpikiran untuk membantu saya. Ya sudah, biarin. The sulung women akan senantiasa teguh dengan pendiriannya, walau sendirian.
Proses tempaan menjadi anak sulung tidak berhenti di masa kecil saja. Masa remaja, masa dewasa, bahkan sampai masa tua akan terus berlanjut. Alasannya? Tentu saja, karena yang pertama bertanggung jawab menjadi pengganti kedua orang tua adalah Sulung. Saya pikir, tempaan ini akan terus berlanjut sampai kelak saya menjadi pemimpin perempuan di keluarga besar menggantikan Bapak atau Ibu. Sejauh itu pemikiran saya. Karena jauh-jauh hari sebelumnya Bapak juga berpesan, bahwa sulung yang akan menjadi pengingat untuk adik-adiknya. Ini artinya saya dituntut untuk dapat bersikap dewasa dan mampu membijaksanai. Dan hal tersebut saya kira tidak mudah, menjadi penengah untuk adik-adik saya yang semuanya memiliki karakter yang berbeda-beda. Ke depannya semakin berat dan mengerikan tempaan menjadi seorang sulung akan menambah kekuatan lahir dan batin juga jiwa dan raga ini. InsyaaAllah.
Maka jika masih ada yang suka membandingkan antara sulung, tengah, atau bungsu. Sudahlah cukup. Sebagai sulung, tengah, atau bungsu kita semua memiliki kewajiban sebagai anak kepada orang tua kita. Tidak ada yang enak dan tidak ada juga yang tidak enak. Sulung, tengah, atau bungsu punya porsinya masing-masing. Maka cukup pastikanlah kamu selalu mengerti dan memahami orang tuamu.
Sekian.

Komentar

  1. Hai, mbak. Salam kenal sebelumnya. Ngomong-ngomong, saya juga anak sulung di keluarga. Hehehe. Sebelumnya, saya pernah juga berpikir tentang hal ini. Bahkan sampai sekarang. Kalau bagi adek-adek kita jadi anak sulung itu enak, bagi saya malah berat. Segala perilaku saya, dijadikan contoh oleh adik. Belum lagi soal meringankan beban orang tua. Terima kasih untuk tulisan ini. Semoga kita sama sama kuat untuk menjadi bahu sandaran, setidaknya bagi adik adik kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai juga Mbak. Terimakasih atas waktunya membaca tulisan di blog ini, juga apresiasinya. Semoga sebagai seorang sulung kita diberikan kekuatan dan kesabaran untuk terus bertumbuh dengan baik dan mendewasa dengan benar. Salam kenal 😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer