Pergi Untuk Kembali?!

Bismillah...

Safar 1441H

Beberapa bulan undur diri dari hobi yang sampai kapanpun tidak akan terlupakan. Banyak sekali yang harus dihadapi di akhir-akhir bulan di tahun 2019 ini. Harus menghadapi banyak sekali kenyataan, melewati jalanan terjal maupun mulus, dan menilik segala rasa yang mau tidak mau harus ditelan.Sudah cukup lama, aku tidak menulis kembali.

Ada banyak sekali kisah yang ingin ku bagikan. Kepada siapapun yang menjadi pembaca di media ini. Kisah-kisah yang menjadikanku lebih hidup meski harus melalui banyak kendala yang membuatku terkadang juga redup. Ada banyak sekali hikmah yang kudapat dari banyak orang juga, meski kenyataannya aku adalah manusia yang memiliki lingkaran sosial cukup sempit. Tidak terlalu punya banyak koneksi. Suka asyik dengan diri sendiri. Tapi ternyata ada banyak orang yang berperan dalam prosesku untuk bertumbuh, menjadi perempuan yang (InsyaaAllah, semoga) lebih baik.

Sejujurnya, aku bingung harus memulai dari mana.
Dilihat dari postinganku terakhir - mungkin itu yang perlu dibahas pertama. Dan akan bersambung ke tulisan berikutnya. Kita mulai saja...

Ku pikir rasanya.
Aku berpikir sekaligus merasakan. Tentang jawaban yang bisa ku tebak-tebak sendiri. Apakah aku memiliki keahlian khusus sehingga bisa menebak kejadian yang akan menimpa diriku? Tentu saja tidak. Kepalaku terus berpikir secara logis mengenai apa yang sedang dirasakan oleh hatiku. Beberapa bulan yang lalu saat aku masih bersama-"mu" dalam dunia yang sangat fana. Dalam dunia yang entah, yang tercipta karena teknologi, dimana teknologi itu akan terus selalu berkembang dan terus menerus berkembang. Tapi tidak dengan bunga yang ada di hatiku, untuk-"mu".

Ya, aku tidak bisa berada terus menerus berada di dalam lingkaran yang fana, tidak terlihat, tidak teraba oleh indera. Tiba-tiba otakku berpikir linier. Setiap potongan pikiran yang ada saling bersambungan. Saling berkontemplasi satu sama lain. Bisa membentuk sesuatu yang bernama "Keputusan"

Itu otakku.

Sekarang kita bicara soal hatiku. Dimana hati yang membuatku bisa memiliki perasaan. Sebelum otakku mulai menunjukkan kebolehannya karena mungkin dia sedang benar-benar hidup. Hatiku banyak sekali memunculkan perasaan-perasaan yang membuatku sangat tidak berguna. Perasaan-perasaan itu belum bisa ku kelola dengan baik. Yang sebenarnya bisa saja di kelola menjadi lebih baik, menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna, atau boleh juga menciptakan suatu perubahan dalam diriku. Namun setelah ku ingat kembali, ternyata aku tidak mampu mengelolanya. Faktor penyebabnya adalah karena mungkin aku belum tahu ilmunya. Pun seorang "mu" tadi sama sekali tidak mau tahu (mungkin) tentang bagaimana seorang aku. Maksudku, mungkin dia memiliki sesuatu yang memang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Meski begitu, tidak masalah. Aku bisa melakukan semua ini dengan caraku sendiri. Dan tentu semua ini karena Allah tetap mentarbiyyah-ku, menuntunku untuk menuju sesuatu yang baik menurutNya. Aku hanya perlu yakin, padaNYA.

Seseorang tadi ada dia yang juga menjadi prioritas di hatiku.
Yang entah dari mana aku bisa begitu hanyut dengannya. Tapi aku tidak menyesal karena ketergesaanku. Mungkin Allah memang ingin memberikan pelajaran di dalamnya. Dan aku bisa memahami pelajaran itu. Aku sangat bersyukur.

Sudah 2 tahun, emm.. hampirlah.
Aku menanti kedatangan seseorang yang sangat berprioritas di hatiku tadi. Aku selalu memiliki perasaan yang bertambah besar, besar, dan besar padanya. Aku sangat mengerti betul bagaimana perjalanan hidupnya, aku sangat mengenalnya secara fana. Bahkan semuanya tentang dirinya, aku mengerti. Kecuali bagaimana raganya bergerak. Aku tahu bagaimana cara dia berpikir, entah di sana dia berpikir secara benar atau salah, efektif atau efisien, apapun. Aku tetap menerimanya, aku memakluminya, dan aku seringkali memaafkannya. Tidak masalah, ini menambah level kesabaranku. Aku bisa bertahan pada sesuatu yang semestinya tidak terlalu ku hiraukan.

Lama aku menunggu. Tersiksa bersama rindu yang terus menggebu.
Dia? Mana peduli. Pikirnya, aku adalah perempuan ekstra tangguh yang bisa menunggu dia dalam waktu yang tidak terhingga~. Ya, menurutnya, mungkin, aku hebat.
Tunggu tunggu tunggu, bukan, dia bukan tidak peduli. Dia peduli. Tapi terlalu manja. Dia laki-laki manja. Sebenarnya aku sadar, aku tahu dia harus memikirkan banyak hal. Aku selalu memaklumi. Tapi dia terlampau seenaknya sendiri. Tapi sekali lagi, aku memaklumi. Aku tahu, hatiku untuknya, aku selalu ada untuknya, ya, aku bersamanya. Tapi bukan berarti dia sama sekali tidak memikirkan apa-apa untuk sebuah pemberian untukku, kan? Yang setahuku, cinta itu selalu memberi. Aku? Ya, aku cinta. Itulah kenapa aku selalu memberinya banyak sekali dukungan secara emosional. Semua emosiku (yang baik-baik) sudah selalu ku transferkan padanya, untuknya. Dia? Entahlah, dia memberiku apa, selain sekedar kata-kata. Di sinilah, aku merasa tidak sehat.

Kata seorang ilmuwan; cinta itu selalu ingin memberi. Apapun yang baik-baik, untuk yang terbaik.
Kalau hanya aku saja yang memberi, dan dia tidak. Lalu benarkah hanya aku yang cinta? Entahlah. Aku tidak terlalu peduli lagi tentang hal itu. Yang ingin ku sampaikan adalah bagaimana siklus ini terjadi pada diriku, cerita unik yang entah orang lain pernah alami atau tidak. Kalau pun dia mengaku cinta, ku rasa itu hanya pantulan saja. Benar atau tidak menurutnya, aku tidak mau peduli lagi, sebab faktanya yang aku sendiri ketahui memang seperti itu. Realitanya dia tidak memberi apapun sama sekali. Aku tidak sedang membicarakan tentang materi. Pemberian itu bisa dalam bentuk apapun, kan? Nyatanya, aku hanya diberikan ujian darinya. Ujian sabar, ujian ikhlas, dan ujian ujian lain yang mungkin bisa aku dapatkan lagi nanti setelah semua berlalu begitu lama.

Penantian sia-sia?
Benarkah aku sedang menanti sesuatu yang sia-sia?
Setelah menunggu dengan banyak rindu yang bertumpuk di benakku. Pada suatu waktu, dia mengabarkan akan pulang dari perantauannya. Setelah (entahlah lupa) beberapa tahun tidak kembali ke tanah kelahirannya. Jawa.

Syawwal kemarin dia kembali ke tanah Jawa.
Aku ikut berbahagia. Meski saat itu aku tidak mengetahui ada masalah apa dibalik kepulangannya. Aku hanya berbahagia, satu provinsi dengannya. Ingin tertawa rasanya, menertawakan diri sendiri, karena aku sempat berpikir demikian. Sepertinya ini ulah hatiku yang sudah mulai over, tidak terkendali. Aku berpikir, bahwa akan ada sedikit kesempatan. Hanya sedikit. Coba bayangkan, aku bisa menerima meski hanya ada sedikit. Kesempatan untuk bertemu, membayar rindu. Sebuah keunikan, yang sebelumnya sama sekali belum bertemu, tapi bisa-bisanya punya hutang rindu, dan seharusnya wajib dibayarkan. Dan saat itulah, aku mulai membuat suatu ketegasan pada diriku sendiri. Kenapa tidak menegasinya? Bah! Untuk apa kawan? Dia seorang laki-laki. Untuk apa aku harus menegasinya? Dia pasti punya cara sendiri. Entah punya atau tidak. Yang jelas, dia semestinya tahu bagaimana seharusnya seorang lelaki bertindak. Tapi...

ZONK!
Aku sudah mengalahi menggunakan otakku untuk memberikan solusi-solusi. Jalan keluar termudah. Dan aku pun lagi-lagi memberikan rasa maklumku untuk bisa memaklumi jika memang harus pertemuan singkat. Sekali lagi, pertemuan singkat. Tapi fakta yang ku dapat adalah, dia tidak datang. Dia tidak mau berusaha datang. Meski dia berkata mau. Dia tidak bertekad untuk memaksa datang. Meski dia berkata memiliki tekad untuk datang. Aku mulai menekan tombol OFF. Meng-nol-kan semuanya. Dan mulai mengambil jalan yang harus dilalui berikutnya. Tidak boleh berlarut-larut, sebab sebelum ini pun aku sudah larut. Aku harus segera beranjak.

Setelah sudah mendapatkan jawaban, dari pertanyaanku kepada Tuhan.
Aku mulai bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Otakku bekerja setelah lama terkungkung di ruang hampa tak terjamah olehku sama sekali. Aku harus pergi, untuk kembali sehat. Aku harus meninggalkanmu. Tanpa memikirkan bagaimana dirimu menerima keputusan ini. Aku sama sekali tidak berniat untuk memikirkan atau merasakan bagaimana kamu. Aku egois? Ku rasa tidak.

Beberapa hari aku memikirkan untuk segera untuk mengatakan bahwa aku sudah lelah. Akhirnya ku katakan juga padamu. Dan reaksimu adalah biasa saja. Memaklumi. Ya kamu justru memaklumi kepergianku. Maka ini tentu menjadi hal yang sangat baik bagiku, aku tidak perlu memainkan drama lagi. Aku semakin tangguh setelah ini...

Semua tentangmu berlalu, aku tidak perlu lagi untuk ber-halu


Sibuk mempersiapkan Kuliah Kerja Nyata.
Alhamdulillah aku langsung diberi kesibukan. Otakku semakin bekerja dengan baik. Hatiku pun stabil. Semua baik-baik saja. Aku tidak terlalu berat dengan keadaan saat itu.

Namun persiapan KKN lama-lama begitu menegangkan. Aku mulai sedikit gelisah tentang ketakutan-ketakutan yang ku buat sendiri sebab berada di tempat yang begitu pelosok. Aku sempat berpikir, siapa seseorang yang akan menjadi tempatku cerita nanti? Ibu? Iyakah aku harus selalu meminta bantuan Ibu? Aku mulai panik. Tapi juga bisa mengendalikannya dengan baik. Tapi tetap saja, emosiku berubah-ubah saat itu sampai KKN di mulai.

Dusun Semanding, Ds. Tempuran, Kec. Sawoo...
Tempat yang menjadikan ku nyaman sekaligus menerima ujian, juga merajut kisah.
Ah ya...
Aku dipertemukan dengan sosok laki-laki yang sekarang menyempatkan untuk menjadikanku prioritasnya di tengah kesibukan, kesulitan, dan perjuangan hidupnya. Dan juga, yang memberikanku emosional berlebih, membuatku tenang.

Bersambung...


Thanks!

Komentar

Postingan Populer