Mental Illness? #1 // Kenapa Aku, Menurutku!

Sebagai pembuka...

"Ada beberapa orang yang sangat membutuhkan orang lain, ingin selamat dari keluarganya; dan banyak orang pula yang tidak begitu mempedulikan"

Setiap orang memiliki karakter pribadinya masing-masing. Yang mana karakter itu terbentuk sejak dari dalam kandungan, mungkin. Sepengetahuanku, sifat dari manusia itu memang turun dari orang tuanya. Gen apa gimana gitu, gak terlalu paham.

Fine.
Aku bukan anak psikologi yang bisa andal dalam berbicara mengenai kepribadian atau psikologis manusia. Tapi ada banyak orang yang ku observasi dan beberapa psikolog yang mulai muncul dan aku selalu memahami apa yang disampaikannya, jadi aku ingin mengutarakan opiniku saja mengenai hal ini. Dan menyampaikan beberapa cerita yang ku dapat dari orang-orang di sekitarku maupun bukan a.k.a orang-orang di online.

Disclaimer: jika ada kesalahan dari segi manapun itu mungkin memang karena aku belum memahami dengan baik dan benar. Tapi semua cerita yang akan ku tuliskan ini nanti, seringkali dibagikan dan membuatku ingin membagikannya juga. Dengan tambahan caraku memahami dari perspektifku sendiri.

Kita mulai dari; diriku sendiri.
Dulu, masa kanak-kanakku bisa dibilang kurang beruntung. Orang tuaku bukan seorang yang berada. Jadi, kalau aku ingat kembali. Mereka memang memulai segalanya dari nol. Di mulai dari menikah dan hidup bersama sampai lahirlah aku dan adikku.

Orang tuaku bukan seorang pegawai negeri atau seorang yang berpangkat tinggi. Mereka berdua hanya, ya-bisa-dikatakan pembisnis. Bapakku kuliah tapi tidak selesai. Dan tunggu dulu, meski begitu Bapak adalah seorang yang ku pikir memiliki skill yang sangat mumpuni. Sejak kecil (kurang-lebih SD Bapak sudah bisa bermain dengan hal-hal yang berbau elektronika dan kelistrikan), keren bukan main, khan~ 
Bapak sendiri yang menceritakan itu semua ke aku.
Terlebih yang bikin aku cukup heran; Bapak melakukannya secara otodidak. Jadi, memang mengasah dirinya sendiri dengan hal yang dia sukai. Bapak bukan laki-laki seperti pada umumnya. Setahuku, Bapak adalah laki-laki yang selalu bisa mempertimbangkan sesuatu begitu spesifik. Sangat canggih untuk berpikir efektif dan efisien. Menimbang dan menghitung semua hal dengan baik dan benar; dengan keidealisannya. Yang intinya, Bapak selalu mencari hal yang bermanfaat untuk dirinya maupun orang lain.

Kecanggihan berpikirnya dalam menyikapi kehidupannya, dsb, bukan semata-mata karena dirinya sendiri maupun orang tuanya. Ya-okelah-semua karena Allah yang sudah mengatur.
Baiklah, kita akan melanjutkan ke orang tua Bapak; jadi...
Orang tua Bapak adalah seorang yang berpangkat; Bapaknya Bapak. Tapi Ibunya hanya seorang Ibu Rumah Tangga yang-ya-sesekali menjadi pedagang (makanan). Dengan begitu, tidak lantas membuat Bapak menjadi seorang anak yang "sangat beruntung", justru yang ada "nasib buntung". Kakekku yang berpangkat itu (tidak usah ku sebutkan apa pangkatnya yes!) jarang sekali ada di rumah, karena memang pekerjaannya menuntut untuk selalu berkelana di hutan rimba, dan daerah-daerah berbahaya. Jadi, sangat tidak memungkinkan untuk mendidik anak sepenuhnya. Dengan begitu, pasti banyak orang yang langsung berpikir, kan ada Ibunya, kan Ibunya yang harus mendidik.

Ibunya Bapak; Nenekku. Dinikahi oleh Kakek sekitar umur kurang lebih 15 atau 17 tahun. Pokoknya las-lasan. Masih sangat muda dan yha~ namanya juga pada zaman dahulu kala. Nenek adalah anak tunggal yang entah berantah pendidikannya dan gak tahu sampai pada mana beliau memahami pelajaran tentang kehidupan ini. Intinya nikah tanpa bekal kecuali hanya nyawa dalam raga, dan keperawanan juga. Sudah pasti ketika memiliki anak, Nenek masih begitu muda,"Mamud". Melihat dari situ, sebenarnya Nenek belum tentu mahir mendidik anak-anaknya. Karena aku percaya Bapak selalu berbicara apa adanya; maka cerita-cerita Bapak begitu tertancap  di otakku, bukan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Juga aku melihat realita yang ada saat ini.

Dulu, Bapak tidak minum ASI dari Ibunya, itu hal pertama yang sebenarnya sudah cukup bisa dibaca nantinya akan bagaimana dan seperti apa. Bapak merasa tidak pernah diperhatikan oleh Ibunya. TK, Bapak tidak lulus. Malas sekolah. Ibunya pun tidak memberi dukungan apa-apa. Dibiarkan, diabaikan, begitu saja. SD Bapak masih lulus. Tapi di masa SD yang biasanya kontrol pendidikan mulai cukup ketat, tapi Bapak tidak mendapatkannya. Belajar saat ulangan/ujian? Ya kadang belajar, kadang tidak, sebab belum tahu bagaimana "belajar" itu. Dan tidak ada yang memberi tahu pula. Rasanya mau nangis, saat Bapak menceritakan itu semua.

Bukan hanya sampai situ.
Bapak antara di masa TK, SD, selalu jalan kaki ke manapun. Rasanya mau nangis darah kali ini.
Ke mana-mana selalu sendiri. Bisa bayangin? Seorang bocah kecil, ke mana-mana sendiri. Bahkan sudah bisa berpikir bagaimana dia pergi dan kembali ke rumahnya sendiri. Bapak juga sudah bisa sedikit-sedikit mencari uang saku untuk sekedar buat beli jajan kesukaannya. Yang aku ingat, beliau saat SD pernah membetulkan radio milik tetangganya. Dan berhasil. Dari  situ, Bapak selalu mengasah kemampuannya. Di masa kecil seperti itu, anak biasanya hanya paham bermain-bermain-dan bermain-juga belajar. Tapi tidak dengan Bapakku.

Bapak juga pernah bercerita.
Bahwa Ibunya begitu tidak peduli dengannya; mulai dari apa yang di makan, bagaimana dengan pakaiannya, caranya belajar, sekolahnya, uang sakunya, kasih sayang. Rasanya lagi-lagi aku ingin menangis nanah.
Meski Kakek, terkadang masih memberi nasehat atau motivasi kepada anak laki-lakinya a.k.a Bapakku tapi yang namanya anak akan selalu membutuhkan kasih sayang yang besar dari seorang Ibu. Namun, hal-hal yang alpha dilakukan oleh Ibunya tidak lantas membuat Bapak lupa bahwa Ibunya telah mengandung 9 bulan dan melahirkannya dengan bertaruh nyawa. Bapak selalu menghormati Ibunya tidak pernah membantah kecuali Ibunya salah, sampai sekarang. Meski kenyataannya juga pedih, Bapak semakin bertumbuh dan berkembang sebagaimana anak lainnya tapi dengan sakit-sakitan. Entah sakit pencernaan, atau sakit kulit. Fyi nih, yang mana penyakit kulitnya itu, sekarang diwariskan ke aku. Hadseh!

Cerita ketidakmampuan orang tua Bapak yang disampaikan kepadaku dan adik-adikku tidak semata-mata karena kekecewaan yang Bapak ingin ungkapkan. Bukan bermaksud untuk membuat kami (anak-anaknya) menjadi benci kepada Kakek atau Neneknya. Tapi sebagai pelajaran yang begitu berharga, sebagai hikmah. Bapak pun bilang, Bapak tidak ingin anak-anaknya merasakan apa yang beliau rasakan di masa kecil. Meski sebenarnya masih banyak penderitaan Bapak yang tidak bisa ku sebutkan semuanya. Yang lagi-lagi yang paling ku ingat nih, Bapak dulu pernah ingin dibelikan sepeda. Badannya sampai demam, karena rasa inginnya yang kuat. Bapak ingin menggunakan sepeda itu untuk sekolah dan bekerja (mencari penghasilan sendiri setidaknya untuk uang saku). Tidak mungkin ke mana-mana jalan kaki. Sekalinya dibelikan, tidak lama kemudian, hanya beberapa bulan, sepeda itu harus dijual lagi untuk berobat Bapaknya Bapak yang sedang sakit. Sedih!

Dibandingkan aku yang pernah dibelikan Bapak sepeda.
Tapi aku tidak senang. Karena sepedanya jelek, maklum second dan harga pasar lowak. Tapi seharusnya aku bersyukur saat itu. Sekarang nih, sudah punya sepeda bagus. Malah mangkrak. Cuma kepakai waktu masih Smp sampai Sma awal-awal, setelahnya motor. Dasar bocah dungu! Akutu/!!11

Dari cerita itu, aku benar-benar ingin menampar diriku sendiri.
Semua cerita itu, aku memahaminya sedikit-sedikit. Bapak benar-benar tidak ingin anaknya mengalami hal serupa. Maka dari itu, aku mulai mengupasnya satu persatu. Meski ada hal yang belum aku pahami, tapi mungkin sedikit aku mengerti. Waktu kecil, aku melihat emosi Bapak selalu meluap-luap. Ya, Bapak selalu marah besar saat aku tidak menuruti kata-katanya atau perintahnya. Yang kalau dipikir memang untuk kebaikanku juga. Dulu, Bapak selalu mencubit atau memukul dengan sulak atau memukul dengan sabuk. Ya, aku ingat semua itu. Bapak galak sekali. Bapak juga selalu membuatku menangis kesakitan tapi selalu ada Ibu yang kemudian meredakanku. Aku menguraikan semua itu. Tidak terburu membawa perasaan. Ah, tapi awalnya aku memang berpikir Bapak adalah orang jahat. Tapi lama-lama aku juga bisa berpikir; bahwa itu bentuk kasih sayang Bapak, perhatian, dan kepeduliannya kepadaku. Jika tidak peduli, Bapak pasti hanya membiarkanku dan masa bodoh dengan apa yang aku lakukan. Bahkan Bapak juga pernah marah ke Ibu, tapi Bapak tidak pernah memukul atau menyakiti fisik Ibu. Sial, hehe, giliran perempuan yang dia cintai yang dia perjuangkan selama 8 tahun itu tidak pernah dipukul.
(eh kok aku masih bisa-bisanya bercanda ya wkwk, sorry!)

Bapak memang marah karena belum terkontrol emosinya paling ya. Karena keadaan ekonomi kami yang sangat kurang. Tapi marah-marah itu, kalau aku ingat memang untuk kebaikanku sih. Aku saja yang bandel. In my opinion, Bapak marah karena tidak ingin anaknya tidak menuruti perkataannya yang sudah dipertimbangkannya dengan baik bahwa itu baik untuk anaknya, itu hal yang harus dipatuhi untuk kebaikan anak. Sebenarnya contoh kecilnya; kadang aku main gak tahu waktu, waktunya mandi masih main, atau aku keluyuran malam-malam. Maklum, dulu aku memang gak aturan banget, dan suka membantah hehe. Jadi, kalau tidak dengan pukulan gak kerasa tuh omongan Bapak yang galak. Harus mengangkat tangan baru gw tunduk. Habisnya gw kecil, situ gede :D
Jadi, Bapak gak ingin anaknya sak karepe dhewe

Nah, di sisi lain. Atau mungkin lain soal begitu ya.
Anak itu gak boleh dikasarin, dsb. Tapi ya memang karakter anak beda-beda sih. Tapi emang kalau dididikan seperti tentara itu bikin kita displin lho, kadang, hehe.
Dan ambil positifnya, kalau dulu aku gak ngerasain cubitan dan pukulan Bapak mungkin aku gak setangguh sekarang sih. Yang aku bingungkan itu, kok aku malah semakin trengginas menghadapi hal-hal di depanku dengan masa kecil yang "ngenes" juga sebenarnya. Tapi ada juga anak yang jadi tempe kepleh gitu lama-lama. Ok, ok, mungkin beda. Aku ini emang anak singkong x y.

Gini ya, masa kecilku emang cukup miris sih.
Meski diperhatikan penuh oleh Abah dan Emak. Tapi mereka galak cuy!
Dan gak seperti anak-anak lain. Kalau minta sesuatu kadang langsung dibelikan, kalau aku harus nunggu lamaaa dulu. Bayangkan aja, TK, yang lain pakai tas bagus gambar barbie, tasku malah tas srampang warna hitam (tas bekas Bapak, yang dulu dipakai waktu mau latihan karate) endess ga tuh! Jadilah aku bahan bully-an terus.

Apakah aku malu?
Ya, dulu aku malu bingit. Aku merasa, dulu aku adalah anak dari keluarga miskin banget. Karena di sekitarku adalah orang khaya~ Begitu tuh~
Padahal kalau aku mau melihat yang dibawahku lagi, masih ada anak yang lebih tidak beruntung dariku. Sayangnya, aku belum bisa berpikir seperti itu dengan cukup baik. Karena saudara-saudaraku yang justru bully aku karena aku jelek, buruk, dan entahlah pokoknya (((i am so bad))) gitu dulu.

Kenapa aku dibully?
Apakah lantas aku memiliki gangguan mental?

Ok. Semua aku mulai dari; Ibuku.
Nah, kalau Ibuku ini. Ialah perempuan terbaik seluruh jagat raya dunia. Entahlah, aku begitu mengagungkan hati dan jiwa Ibu. Meski kadang aku masih tidak setuju dengan jalan pikirannya. Jalan pikirannya lho yha, bukan hatinya. Kalau hati dan jiwa, Ibu masih tetap yang terbaik seperti sandal Carvil. 

Ibu adalah anak ketiga dari lima bersaudara.
Orang tua Ibu; Bapaknya adalah seorang pegawai negeri. Dan Ibunya adalah Ibu Rumah Tangga. Keluarga Ibu sangat sempurna, begitu kata Bapakku. Bapaknya Ibu a.k.a Mbahkung. Ialah seorang yang begitu memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Pendidikan apapun. Jadi, setiap hari ada waktu untuk belajar, dimana Mbahkung akan berperan sebagai guru di sana. Setiap ada hal yang sulit, Mbahkung selalu membantu anaknya untuk mencari solusi atau menjawab dengan jawaban yang mumpuni pula. Mbahkung selalu memperhatikan satu persatu anak-anaknya; mulai dari apa yang di makan, apa yang di butuhkan, DLL. Bapak idaman-lah. Meski ada beberapa keburukannya juga yang tidak bisa kusebutkan. Hanya, terhadap anak-anak, Mbahkung bisa sangat peduli, amat sangat. Pokoknya peduli bangetlah.

Kenapa aku bisa katakan begitu, terbukti sih anak-anaknya berpendidikan semua. Ya gak tinggi-tinggi amat sih. Tapi, biar ku katakan sebagai bentuk apresiasi, hanya-Pakpoh-dan Ibuku yang mampu menyelesaikan pendidikan tingginya. Tapi, hanya Ibuku yang mampu menjadi pegawai negeri, meneruskan pangkat Mbahkung.

Ok. Tentang Ibuku, bisa kita bahas belakangan.

Selanjutnya aku ingin bercerita tentang Mbahuti singkatnya aku manggil Mbahti.
!Fyi, Mbahkung dan Mbahti sudah Almarhum dan Almarhumah semua.

Mbahti, adalah perempuan yang lahir di daerah kulonan (kulon;barat). Maksud singkatnya, Mbahti ini masih ada keturunan dari kulon, daerah sekitaran Surakarta/Solo. Darah birunya dari Keraton Solo mungkin setetes ada-lah pada Mbahti. Jadi, dari mbahyut-mbahyutku ada yang punya gelar Raden Ayu, kayak-kayak gitu. Nah, maksud saya bukan takabbur. Tapi, orang keturunan sana tuh lembut-lembut gitu khan yha~ Terlebih lagi, sangat memperhatikan adab. Yoihm, adab. Tata krama, dsb itulah. Mbahti ini, juga paling cerewet sama anak-anaknya dan cucu-cucunya tentang pelajaran tata krama. Makanya, kadang kalau aku ke rumah Mbahti selalu agak berhati-hati (dulu) tuuuh... Soalnya dikit-dikit salah. Sampai cara menyendok nasi pun ada aturannya. Gils ga tuh~

Dari sini ada poin yang bagus-lah dari Mbahti-ku beda dengan Ibunya Bapak. Jauh!
Tapi, sayangnya Mbahti ini saking lembutnya ya agak kalahan. Bisanya nurut aja. Pokoknya nurut banget sama Mbahkung. Finally, ya cuma ngurus rumahlah bisanya. Tapi kecanggihannya ya mengajarkan adab itu tadi. Mbahkung dan Mbahti sangat kental dengan Ke-jowo-an-nya, bagus sih, tapi sayang untuk agama saya kira nonsense. Jadi, memang setiap manusia tetap ada kekurangannya ya.

Nah, didikan Mbahkung dan Mbahti ini aku pikir sudah mumpuni. Anak-anaknya terpenuhi semua pendidikannya. Segalanya. Sangat jauh berbeda dengan Keluarga Bapak. Jadi, Ibuku masih lebih beruntung daripada Bapakku.

Dengan cerita-cerita tentang pendidikan yang Ibu ceritakan itu.
Aku jadi memahami kenapa Ibu begitu rajin. Karena semangat dari Bapaknya. Dan aku jadi memahami kenapa Ibuku orangnya bisa baik banget hatinya a.k.a Ibuku orangnya ngalahan, pendiam, sabaran, apalagi ya; pokoknya semboyan "mengalah bukan berarti kalah" itu Ibuku bangetlah. Itu diturunkan dari Mbahti banget. Dan juga masalah etika, rasa-rasa gak enak sama orang, moral, dsb, itu Ibu bisa ngerti banget.

Nah dari situ, Ibu juga menurunkan sifat yang hampir sama ke aku.
Bedanya aku idealis. Sedangkan Ibu gak gitu. Ibu kadang masih terbawa kanan kiri. Sejak aku kecil, Ibu mengajarkan pendidikan sekolah pada umumnya. Ibu mengajariku membaca, menulis, berhitung. SD kelas 3 atau 4 aku sudah hafal perkalian karena Ibu selalu menggemblengku dengan semangat. Cara membacaku juga sangat baik, bahkan menulis dengan rapi juga sudah bisa. Melihat yang lain belum seperti itu. Terbukti, ini relevan kan dari apa yang Mbahkung dididikkan ke anak-anaknya.

Sayangnya...
Pelajaran umum andal. Cukup baiklah. Tapi, yang pertama pendidikan agama bisa dibilang aku nol. Dulu. Ini ngaruh juga setelah ku pikir-pikir. Ibuku jarang memberiku pendidikan agama, sebab Ibuku pun sendiri juga gak paham-paham banget. E, sholat kok, bahkan Ibuku rajin puasa. Tapi biasalah puasanya masih ada sedikit campuran dengan yang di luar syariat Islam. Tapi sayangnya, gak disampaikan ke aku. Gak dipraktikkan ke aku. Fleksibel banget. Jadilah aku yang tunduk dihadapan kedua orang tuaku, tapi urakan di luar rumah. Dulu sholat juga moody-an.

Kedua, adalah Ibuku yang tidak memahami bakat dan minatku. Ibu pernah sih, maksa aku untuk ikut menari. Waktu TK. Dan kau tahu, aku sangat tertekan untuk mengikuti ekstra menari. Sh*tt! Kayak... apaan sih ini. Bukan minatku sama sekali. Gak kaku sih, tapi aku gak suka. Kenapa Ibuku maksa aku ikut? Karenaaa... Saudara sepupuku yang perempuan-perempuan itu juga ikut gituan. Hadeehee, Ibu kok ikut-ikutan sih~

Nah... Sudah selesai akhirnya.
Ibu gak maksa aku lagi.
Tapi aku dipaksa ikut TPA di sekolahan TK waktu itu. Karena jarak tempatku TPA sama rumah Mbahti dekat. Jadi, aku mulai pulang sekolah sampai sore di rumah Mbahti. Belajarlah aku A,BA,TA di sana. Sampai akhirnya bisa baca jilid 6. Ya, setidaknya aku gak dungu untuk ditanyai huruf yang dijadikan Allah kalimat suciNya. Ya, setidaknya aku bisa baca Al-Qur'an gitulah.

Selanjutnya...
Ibu tidak pernah mengikutkan aku lomba :D
Ngakak gak tuh! Karena Ibu malas harus riweuh sama yang begituan. Ibu gak suka di tempat ramai, Ibu gak suka ketemu banyak orang juga, terus Ibu malas harus ngurusin anaknya di luar rumah begitu. Pokoknya Ibu paling ngga' banget ngikutin aku lomba. Jadi, sampai aku segede gaban gini juga paling malas kalau disuruh lomba-lombaan. Gile, harusnya kan gw berprestasi. Tapi ada kok prestasi, meski sedikitlah. Setidaknya, aku sudah pernah challenge diriku lebih dari Bapak dan Ibu lah. Kecuali dalam urusan tempat sekolahan terbaik. Aku sekolah di sekolah negeri cuma waktu Smp aja, hehe!

Jadi, kenapa aku sering di bully karena Ibuku yang malas mau dandanin aku. Ibu sih bisa dandan, tapi kok gak bisa dandanin aku ya. Wkwk. Apa malas gitu aku gak tahu sih. Dulu aku hitam anaknya, kumut-kumut. Tapi pakai bando sih, pakai pita juga. Tapi gak bisa manis gitu. Apa emang bawaanku gitu x yaaa...

Dari situ aku selalu dapat bully.
Dari siapapun. Anjay rasanya aku paling buruk sedunia nich.
Tapi aku palingan cuma nangis. Juga aku gak pe-de orangnya. Gitu aja sih. Dan mudah nervous kalau aku di lihati banyak orang. Aku merasa, aku jelek tapi malah jadi tontonan, gitu. Dan lama-lama aku nge-challenge diriku. Ikut lomba atau acara yang pokoknya tampil di depan orang banyak. Tetap nervous tapi bodoamat. Penting udah mencoba beberapa kali. Gapapa, sans, pikirku.

Kemudian, apakah aku punya gangguan mental?
Aku gak tahu pasti sih.
Tapi aku ngerasa normal-normal aja.
Cuma kadang aku pernah berada di waktu malas berbicara, dan ada waktu dimana sangat ingin banyak bicara. Ada waktu tidak ingin ketemu orang yang tidak ingin ku temui dan ada waktu dimana aku ingin ketemu banyak orang. Itu namanya apa? Relevan gak sama bullying, haha!
Gangguan mental apa ya, kayaknya gak ada, haha!
Lanjut maaang...

Semua hal yang sudah diberikan Bapak dan Ibuku selama ini. Juga, pengalaman dan contoh nyata yang diperlihatkannya kepadaku selama ini. Aku cukup terkesan.

Bapak dan Ibuku memang pernah bertengkar. Tapi di dalam rumah tangga, ku rasa itu hal yang wajar dan biasa. Pertengkaran hebat pernah terjadi sekali, dulu, saat Bapak masih sering menghajarku (hehe). Tapi tidak sampai memukul Ibu. Hanya marah-marah, teriak-teriak, dan memecahkan gelas juga menumpahkan cerek air. Saat itu aku sampai keluar rumah dan berteriak, "Tolong!". Tapi tidak ada yang menolongku. Aku ketakutan. Ibuku memeluk adikku di kamar. Aku yang di luar saat adzan maghrib, hanya bisa duduk di teras rumah kontrakan kami yang kecil di perumahan tengah kota. Menangis? Tidak. Aku hanya ketakutan. Bapakku semarah itu. Ada apa? Aku hanya penasaran. Ibuku sebelumnya sudah bersiap-siap untuk pergi membawa bajunya, bajuku, dan baju adikku. Mungkin akan pergi ke rumah Mbahkung dan Mbahti. Tapi ba'da maghrib, Bapak mereda setelah mungkin melaksanakan sholat maghrib. Aku yang sendirian saat itu, segera ditenangkan oleh Bapak. Kukira Bapak akan marah kepadaku atau aku akan dipukul sebagai pelampiasan. Tapi ternyata Bapak sudah menginsyafi. Bapak tidak sampai berbuat seperti yang ku bayangkan. Saat rambutku dibelai, aku baru menangis. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanyaku dalam hati, waktu itu. Bapak malah mengajakku bercanda. Dan Ibu masih menangis sambil memeluk adikku yang tertidur di dalam kamar.

Besoknya?
Semua harmonis kembali. Seingatku, Ibu langsung masak makanan kesukaanku, kentang balado dengan rempela ati. Mamam~
Hanya sehari pertengkaran dungu.

Setelah aku mampu berpikir dengan cukup dewasa.
Semua pertengkaran itu terjadi karena kami kekurangan dalam aspek ekonomi. Mungkin saat itu Bapak tidak punya uang, kebutuhan bertambah, Ibu juga habis simpanan uangnya. Semua seperti berantakan. Ah, kemiskinan selalu menjadi faktor inti dari masalah-masalah. Ditambah lagi ilmu yang masih kurang. Terlebih ilmu agama, sehingga pedoman mereka sangat minim. Jadilah, setan berpesta pora melihat pertengkaran dua anak manusia.

Tapi, cinta yang tulus di dalam hati Bapak untuk Ibuku tidak pernah ku ragukan.
Aku tahu betul. Bapakku sangat mencintai Ibuku. Aku pun merasakan cinta itu. Yang tidak mampu kutuliskan dengan kalimat apapun. Mungkin Allah memang sudah mengunci mereka berdua. Menakdirkannya, sebab yang ku tahu Bapak dan Ibu memang mendewasa berdua. Aku menjadi saksi bisu selama ini hehe. Yang diam-diam aku selalu melihat mereka berdua berbicara dengan mesra, dan kadang juga bertengkar ringan tapi setelah itu bercanda, yang juga kadang kalimat-kalimat manja terbesit dalam percakapan ringan, juga... aku pernah tidak sengaja menemukan map dokumen yang berisi surat cinta mereka berdua. Dan kubaca satu persatu. Jadi, akulah yang paling paham dan mengerti kisah kedua orang tuaku. Aku sangat mengenalnya. Di situ entah bagaimana aku menjadi berpikir lebih dewasa.

Bagaimana maksud berpikir dewasa?
Ya, orang tuaku tidak pernah menutupi apapun dariku. Sekalinya, ditutupi, aku selalu mencari tahu entah bagaimana caranya. Mereka memang mungkin terkesan tidak memahamiku dengan baik sejak dulu. Tapi mereka bisa sampai bertengkar dan pusing berpikir juga lelah berusaha hanya untuk membuatku hidup. Jadi, tidak ada alasan aku untuk menyalahkannya. Sejujurnya, tidak ada alasan untuk aku menyalahkan kedua orang tuaku.

Semua cerita di atas adalah bentuk dari ke-apa-adaan.
Memang dulu nyatanya, aku pernah berpikir bahwa orang tuaku tidak andal dalam memahami dan mengertiku. Tapi itu semua selalu ada sebabnya dan aku tidak bisa meminta untuk menjadi anaknya siapa. Seharusnya aku tidak begitu menyalahkannya.

Dengan berjalannya waktu...
Aku menyambungkan semuanya sendiri.
Tidak ada orang tua yang salah. Kita, tidak boleh menyalahkan siapapun. Terlebih diri kita sendiri. Meskipun aku masih pernah menyalahkan diri sendiri, sih. Tapi semua keburukan terjadi, sebab ada kebaikan setelahnya.

Setelah, ikut melewati banyak pahit getirnya hidup.
Aku tahu betul bagaimana banting tulangnya Bapak dan Ibuku untuk anak-anaknya.
Aku menjadi saksi tentang sejarah perjuangan mereka berdua.
Aku pun yang menyaksikan sendiri cinta sejati yang nyatanya tidak hanya dimiliki Ainun&Habibi.

Kepribadianku yang sekarang sepertinya biasa-biasa saja.
Ku pikir aku akan menjadi anak yang gimana-gimana. Gangguan jiwa atau bagaimana. Entah aku menyadari atau tidak peduli. Yang jelas aku bisa menjalani semua dengan baik. Tanpa halangan pada jiwaku. Semua baik-baik saja. Sejak saat itu Bapak Ibuku juga jarang sekali bertengkar. Mungkin lebih legowo. Bapak mulai ikut kajian-kajian Islam sejak aku Smp. Pas banget! Smp itu masa-masa nakalku. Sebenarnya ada ceritanya, tapi aku lupa di tulisan yang mana.

Semua yang ku alami sejak masa kecil itu tidak lantas membuatku menjadi seorang penakut atau pengecut. Aku justru selalu apa adanya selama ini. Meski yang sempat bikin aku mikir beberapa tahun terakhir, kenapa sejak SMA aku jadi malas mau ikut organisasi. Rasanya ada idealisme pada diriku yang ingin meledak tapi belum meledak-meledak. Atau aku bosan dengan orang-orangnya. Entahlah~

Sekarang, kami hanya perlu berhikmah, bermuhasabah.
Setelah melewati badai selama kurang lebih 10 tahun itu.
Ya... Meski sejatinya, badai itu akan selalu datang lagi dan lagi.
Kesuksesan dunia memang tidak ada apa-apanya.
Kesuksesan itu adalah ketika kita mati masih sempat mengucapakan, laa ilaaha illaallaah~ 

Masih ada cerita lain tentang mental-mentalan mungkin.
Kalau kamu mau cerita juga boleh, kritik juga boleh, saran apa lagi, ngajak gelut juga boleh, yang penting 1:1 jangan tawuran, di komentar ya...
Mungkin ada yang punya cerita lebih "jungkir balik" ketimbang ceritaku.

Maaf kalau ada kalimat yang ngegas atau anarkis.
Salam me(n)tal!
Tabik! 

Komentar

Postingan Populer