Keyakinan Itu Tidak Bercampur Dengan Keraguan

Bismillah...

Maret. Bulan ketiga. Tiga, angka kesukaanku. Meski banyak manusia lain yang mengatakan bahwa angka tiga adalah angka sial. Buatku, that so bullshit. Gak laku. Angka tiga, angka ganjil, dan angka ganjil adalah angka yang disukai Allah juga sepertinya. Kok bisa? Ya, contoh mudahnya lihat saja asmaul husna. (?) Ok, ga penting.

Bicara tentang angka, sial atau untung, dan hal yang disukai oleh Allah...

Barusan temanku Whatsapp, dia mengirim foto pasangan yang baru saja melaksanakan akad nikah. Sebelumnya, temanku satunya juga mengirim foto seorang teman juga yang baru saja melaksanakan khitbah (masih lamaran).

Terus?

Rasa-rasanya, banyak juga yang mulai berpikir tentang menikah.
Ok baiklah. Mungkin memang sudah waktunya. Atau mungkin sudah cocoklah ya untuk sekedar memikirkan hal-hal semacam itu. Umur 20 ke atas, atau bisa dibilang sudah 21-lah ya, sepertinya fase di angka ini cukup membuat pemiliknya ketir-ketir.

Baiklah, yang mau ku bahas adalah begini...
Aku tahu sekarang berada di usia yang seharusnya sudah bisa berpikir matang. Itu yang pertama. Bagaimana berpikir matang itu? Menurutku, berpikir matang adalah tahu kemampuan diri, tidak banyak bicara, tetapi sedang melakukan sesuatu (ada kata aktif di sini;do something), dan mengambil keputusan secara independen (meskipun gak 100% sebab ada Allah yang tetap menghandle dan yang selalu kita mintai pertimbangan). Itu berpikir matang. Jadi, bukan hanya berpikir-berpikir-berpikir. Dari ilmu yang pernah disampaikan oleh Ustadz-ku, yang masih sangat ku ingat-ingat...

"Jangan mikir 'besok', pikirkan yang 'sekarang' dulu, sebab besok yang kita kira akan datang belum tentu terjadi"

LHA! Terus gak punya rencana buat esok hari? Rencana itu selalu ada kawan. Jelas ada, tapi pertimbangkan juga dengan kondisi saat ini. Membuat rencana ituuu, menurutku tidak asal. Coba lihat dulu saat ini sedang melakukan apa, fokus, kerjakan dengan benar (syukur kalau itu bermanfaat untuk banyak orang), dan selesaikan juga dengan baik. Kan begitu. Bukan hanya dipikirkan apa yang belum terjadi, sedangkan yang sekarang terbengkalai. Lebih-lebih, sudah pusing mikir tentang besok-besok, tapi sekarang tidak berbuat apa-apa. Itu 'kan namanya = 0. Rencana akan selalu ada, untuk jangka pendek. Kalau rencana jangka panjang, saya rasa terlalu sok tahu. Lebih baik, sebagai manusia yang tak bisa melihat 1 menit kemudian itu kira-kira akan terjadi apa. Kerjakan saja apa yang ada, jangan lebay. Tapi ya terserah kamu c. Sekedar mengingatkan~

Yang kedua,
Di usia yang sudah bisa dibilang dewasa; dalam ukuran angka usianya saja lho yha~ Aku mulai mencium bau-bau kehidupan yang mulai resah. Terlebih, banyak ku lihat yang memilih untuk segera mengakhiri masa sendiri, menikah. Terlihat pada postingan foto cincin di tangan kiri, foto bunga, atau dengan pasangan sambil memegang buku merah dan hijau. MasyaaAllah, rasanya bersyukur dan ikut berbahagia juga melihat seseorang yang sudah melengkapi separuh agamanya.

Nah, kembali pada cerita temanku yang tiba-tiba dia merasa kebaperan sendiri yang padahal sebelumnya dia bilang, "aku biasa wisan ndelok wong rabi" 
Aku pun juga biasa saja melihatnya. Karena memang hatiku berkata, itu biasa saja. Jadi teman yang baru saja melaksanakan akad nikah itu juga sudah berhijrah dengan standarnya sendiri, mungkin cukup lama. Sampai setelah menjalani proses dan perjuangan yang panjang (yang tidak bisa diketahui kecuali oleh dirinya sendiri), dia menikah. Pun kita semua akan merasakan hal tersebut, kelak, atau besok-besok. Hnnntahlah!

Awalnya, aku sempat kebaperan juga.
Aku kebaperan melihat teman sebaya menikah baru akhir-akhir inilah, belum lama. Melihat orang mau menikah, soon menikah, atau sudah menikah selalu ada rasa-rasa "jleb!" dalam hati. Yang tidak bisa diungkapkan dengan kalimat apapun sebenarnya. Ok ok, mungkin aku ingin. Dan, sapose sih yang nga pengin menikaaa~?
Tapi ku pikir, dan baru ini tadi aku mikirnya. Kayaknya gak beres deh aku. Sebentar, kenapa kamu harus merasa seperti itu? Ayo, coba berpikir! Begini ya nak,

Aku mungkin merasa. "Enaknya dia sudah sampai pada tahap menikah. Dia ada temannya. Teman hidup selamanya. Andai, aku bisa sesegera itu." Inilah yang ku pikir tidak sehat.
Setiap orang punya kapasitasnya sendiri. Mungkin ada yang sudah selesai dengan segala urusan kemudian memutuskan untuk menikah, mungkin ada yang belum selesai dengan urusannya tapi karena hal lain (semisal; memang ingin segera menyempurnakan separuh agamanya), atau mungkin ada hal lain yang mereka sendiri sudah pikir dengan baik menurut kemampuan dirinya sendiri.

Jadi, merasa seperti itu tidak perlu. Gara-gara berada di lingkungan, di mana orang-orangnya suka panik dan kebiasaan tengok kanan-kiri kemudian tengok diri sendiri itu yang bikin aku ke bawa arusnya. Sedangkan sejak awal dahulu kala, aku paling jarang ikut panik ketika yang lain panik. Mungkin aku harus bisa lebih menguatkan diri dengan cara menjadi lebih menguliti satu persatu prinsip dan di tempel kembali dengan lem rajawali. Biar lekat.

Setelah menyadari itu, temanku memiliki argumentasi yang gak masuk akal di otakku. Dia bilang berpikir tentang pernikahan karena melihat MUA, dia nemu teman yang baru saja menikah tadi juga dari salah satu WO di Instagram. Meskipun tidak menikah sekarang. Dan yang dia pikir adalah mahalnya pernikahan nanti. Sebenarnya argumennya "apasih?" Tapi aku masih menghargainya-lah. Dia bilang, harus menyiapkan berapa duit untuk melakukan resepsi di pernikahan. Itu juga gak masuk sama sekali. Kenapa harus memikirkan hal demikian (saat ini?) Karena aku malas berdebat untuk hal semacam ndog blorok yang basi seperti ini. Aku menjawab, aku tidak memikirkan hal-hal yang demikian. Singkatnya, aku tidak tahu nanti bekerja sebagai apa (apakah aku berduit?) Dan lelaki yang menjadi calon suamiku kerjanya apa. Belum pasti. Terlebih tempat, waktu, keadaan, segala macam yang tidak bisa ku ukur (dan tidak penting pula ku ukur sekarang) itu akan berbeda nantinya. Jadi, membicarakan hal semacam itu tidak penting. Yang paling penting adalah, kita itu sebenarnya mau cari apa kok menikah segala?

Nah, yang bikin aku tambah pengin melanjutkan berargumentasi tadi. Temanku bilang, dia memikirkan juga, nanti setelah lulus mau kemana? Padahal kita belum skripsian. Aku pun hanya menjawab, ya sudah pikirkanlah.

Percakapan ini tadi yang membuatku ingin berpendapat juga. Kenapa banyak orang tidak melihat sesuatu sesederhana mungkin? Ok. Maaf jika keidealisanku mulai muncul. Jelas, aku dan orang lain berbeda. Tapi begini, temanku ini aku sangat mengenalnya dengan baik. Dia seringkali berpikir. Entah yang penting atau tidak penting, tapi dia sangat minim bergerak. Tapi aku tidak tahu pastinya sih, yang ku tahu hanya sesekali dia membantu orang tuanya bekerja, begitu saja. Dia yang ku kenal, sangat sulit untuk diajak melakukan suatu gerakan. Misal, diajak berbisnis bersama. Dia tidak mau. Yang ku tahu dipikirannya, mungkin pekerjaan yang mumpuni dan cepat menghasilkan uang. Ya, realistisnya dia adalah semua itu butuh uang. Sedangkan aku, realistisku adalah pengalaman, proses, dan penderitaan dulu. Atau mungkin dia punya cara sendiri, gak tahulah, tempe aja aku.
Yang bikin aku pengin berkomentar. Dia selalu saja berpikir jauh, sejauh-jauhnya. Sedangkan sekarang dia tidak melakukan apa-apa. Baik, masih beruntung karena kehendak Allah bisa merealisasikan apa yang sudah dipikiran untuk nanti di masa depan, apa yang ia rencanakan ternyata ada di masa depan (itu pun kalau dia bisa benar-benar terus merayu Allah, yang sayangnya kesepakatan dengan Allah itu tidak semudah seperti berbisnis di dunia ini. Dia lebih Maha Tahu yang terbaik untuk hambaNya, jelas) Tapi kalau seperti hanya berambisi, tanpa melihat dirinya sekarang berbekal apa (tiada lain selain semangat ambisi) sialnya hanya akan menghabisi diri sendiri. Seperti 0 saja. Maka sebenarnya, kita tidak tahu di angka 21 ini kita berpikir keras saja dan kemudian rencana kita di angka 22,23,24 kita akan bekerja keras. Kita tidak tahu, apakah akan seperti itu? Belum tentu bisa seperti itu. Karena kita tahu, semestinya kita sadar, bahwa kita tidak tahu dan tidak sadar tentang hari BESOK. Jadilah, yang seharusnya kita lakukan adalah lakukan yang terbaik untuk hari ini, untuk saat ini. Baiklah, aku selalu senang bisa memetik hikmah seperti ini. Semua tulisan di sini pun juga membuat pikiran saya lebih terbuka. InsyaaAllah!

Ok.
Lupakan temanku yang mbohlah tadi.
Mari kembali ke emm... pernikahan.
Balik lagi ke pernyataan, kita punya kapasitas sendiri-sendiri. Tidak bisa jika dibandingkan dengan orang lain. Kita punya ukuran sendiri untuk diri kita sendiri juga. Memang benar. Tapi untuk menuju ke jalan/pilihan pernikahan ada hal-hal yang perlu kita sadari. Dan baaanyak hal yang sebelumnya harus kita pelajari. Bayangkan saja, ujian di kampus 90 menit, itu malamnya kita baru belajar. Ok semalam kita belajar untuk ujian dengan waktu 90 menit. Nah, apalagi menikah. Itu selamanya sampai kita "qoid", belajarnya ya harus semaksimal mungkin sampai waktunya menikah itu tiba. Lantas kapan waktu menikah itu? Hanya dirimu sendiri yang dapat mengukurnya. Apakah bekal yang kamu bawa (hal yang kamu pelajari untuk menuju kehidupan pernikahan kiranya cukup? Ya cukup saja dulu. Lainnya yang masih kurang, barangkali bisa menyusul.

"Jangan menikah hanya karena jatuh cinta. Jangan menikah hanya karena kasihan. Menikah itu perlu banyak bekal. Butuh persiapan. Ilmu yang cukup. Iman yang benar. Karena dalam pernikahan nantinya kita tidak bisa hanya berbicara tentang cinta apalagi harta, tahta tetapi kita juga akan berbicara tentang aqidah. Ya... Menikah memang banyak persiapan. Tapi jangan sampai menjadikan persiapan sebagai alasan menunda-nunda untuk menikah."

Begitulah tentang pernikahan.
Tentu Allah senang melihat sepasang hambaNya yang menyempurnakan separuh agama. Dan Allah lebih senang lagi kalau sepasang hamba itu bersatu (menikah) sebab kecintaannya kepadaNya dan bertambah pula kecintaan kepadaNya itu sampai akhir hayatnya.

Yang selanjutnya...
Berdamai dengan diri sendiri.
Tulisan ini ku ambil dari seorang penulis, aku lupa namanya. Hanya ingat kalimatnya.
Kurang lebih berbicara,

Beberapa orang bertanya pada kita tentang hidup yang kita jalani. Di mana kita bekerja, bagaimana soal keluarga atau lainnya, bagaimana hari-hari yang kita lalui, kapan kita akan begini begitu. Saat itu, kita pun tahu; jawaban yang kita sampaikan tidak akan memuaskan mereka. Jawaban kita mungkin akan mengundang bisik-bisik sinis nan berisik. Karena hidup kita tak sesuai dengan standar dalam pandangan mereka.

Tapi alih-alih bersedih, kita justru tersenyum bahagia. Karena mengingat lagi petualangan yang kita lalui untuk berdamai dengan keadaan, dengan diri sendiri, yang amat panjang, yang tidak mereka tahu. Penolakan, pertanyaan, kebingungan, penyesalan, amarah, serta semua hal yang pernah kita lalui yang kini menjadi kenangan berharga.

Kita tersenyum, karena bersyukur memiliki hidup yang saat ini kita jalani. Kita tersenyum karena memilih tidak tunduk pada berbagai upaya yang membuat kita kehilangan penerimaan atas diri sendiri. Kita tersenyum karena kita memilih kedamaian kita, alih-alih kepuasan mereka.

Jadi intinya, di usia berapapun, pada angka berapa pun kita hanya bisa berusaha untuk melakukan sesuatu dengan benar dan baik. Dengan benar adalah niat kita, untuk siapa, untuk apa, mengapa kita harus melakukan kegiatan/pekerjaan ini? Tentu saja, Lilaahi ta'ala. Dan dengan baik adalah melakukan suatu hal tanpa memperburuk hal yang lain justru semestinya melahirkan hal yang bermanfaat untuk semua orang di sekitar.

Tidak perlu membandingkan dengan yang lain.
Kita hanya perlu percaya dengan diri sendiri dan yakin bahwa Allah tidak akan membiarkan kita terkatung-katung. Hak kita sudah di jamin oleh Allah dan kewajiban kita mengerjakan sesuatu karena mengharap ridhoNya. Andai... Semua orang bisa berpikir demikian. Pastilah kita tidak akan berseteru ini itu. Yang sudah menjalani dan yang belum menjalani; hanya cara berpikir, waktu, dan iman yang membedakannya. Kemungkinan masalahnya sama.

Keyakinan itu tidak akan bercampur dengan keraguan.
Apalah kita yang hanya sebentar di dunia ini. Begitu kaku dan keras karena mencari benda yang bernama uang atau yang lainnya. Sedangkan sebenarnya dan semestinya kita yakin di dunia ini Allah sudah siapkan segalanya. Tinggal kita mau mencarinya dengan niat yang seperti apa. Kesuksesan itu bukan berarti kaya raya dan bisa membeli apapun yang kita mau. Tapi kesuksesan itu ketika kita harus kembali padaNya, dengan menyebut AsmaNya. Mudahnya, begitu kan?

Sekian.
Maaf jika random.

Komentar

Postingan Populer