Serba-serbi My Wedding #Part1

Sebuah acara pernikahan yang menerapkan tema simple and joy - meskipun sebenarnya kami tidak memerlukan tema apapun :D

//Bisa nikah aja, udah Alhamdulillaaah :v

Disclaimer: Bisa digunakan sebagai referensi tetapi tidak ditekankan, karena ini murni dari pikiran dan pengalaman pribadi yang tentu masih ada kekurangannya. Boleh membaca sampai selesai bagaimana proses dan alurnya, boleh juga berkomentar dan beropini sesuka hati. Sebagai peringatan yang tidak begitu keras; disarankan untuk tidak berprasangka buruk pada kalimat-kalimat di sini, karena itu akan merugikan diri sendiri.

Setiap pasangan yang akan menyatu dalam hubungan pernikahan, tentu membawa harapan untuk memiliki pernikahan impian-nya sendiri-sendiri. Tapi untuk pasangan yang satu ini, Lisnadya dan Suami, rupanya sama-sama tidak ingin bermimpi saat menghadapi Wedding (yang hanya sehari) itu. Kami sadar, Marriage justru lebih prioritas dan butuh fokus yang lebih serius. Maka, Wedding, kami buat sesederhana mungkin dengan menggunakan kesempatan adanya Pandemi COVID-19 (hehehe). Sebab, do'a-do'a terbaik yang tulus dari penjuru manapun - justru yang paling kami butuhkan.


Sebelumnya, izinkan aku untuk bercerita tentang proses-ku menuju MENIKAH.
Sebab, hal ini relevan dengan Wedding yang akan dilaksanakan.

Mengawali hubungan yang memang tidak ada kata apapun, sehingga awalnya bisa disebut ketidakjelasan. Namun, sejak mengenal suami saat di kegiatan KKN, kami ((kelihatannya)) cocok dan sefrekuensi. Sempat nge-bucin? IYA. Tapi, beberapa waktu saja. Sempat berpisah? IYA. Tapi kok ya, balik lagi. Seperti pada umumnya, perkenalan selama 2 tahun ini mengalami tarik ulur yang luar biasa. Dari awal juga, kami terus berhubungan dan tidak berniat untuk senang-senang karena kasmaran. Susah pun, seringkali (tidak sengaja) dihadapi dan mencari solusinya bersama-sama, sehingga seiring berjalannya waktu saat itu - sambil menyelesaikan perkuliahan (SKRIPSI), kami mulai berpikir tujuan selanjutnya. Karena, seringnya melakukan kegiatan-kegiatan bersama, kami juga sempat lupa bahwa waktu semakin maju ke depan. Yah, begitulah RASA yang dititipkan kepada kami. Kami kelola saja, kami salurkan saja, kami buat batasan untuk meRASAkannya dengan baik meski belum tentu benar. Tanpa kami tolak, biarkan saja, mengalir, saat itu... berdua.

Sampai pada akhirnya...,
Kami mencoba membahas lebih jauh,
"Selanjutnya bagaimana? Tidak baik lho, jika begini saja sedangkan waktu terus berputar..."


- Tujuan Kita Menikah itu, Apa sih? -
Sebuah pertanyaan yang disengaja. Ku tanyakan padanya, untuk mengetahui sejauh mana dia berpikir tentang Marriage. Meski sudah mengenalnya beberapa tahun, tapi tidak menutup keraguanku tentang kesadarannya tentang persoalan rumah tangga. Perjalanan di dalam pernikahan, aku yakin tidak mudah, sangat amat tidak mudah. Aku pun sempat meragukan diriku sendiri. Tapi, lama-lama justru hal itu melemahkan dan menghancurkan segala niat baik yang akan dilakukan.

Saat itu, dia menjawab, bahwa kita akan melaksanakan IBADAH bersama seumur hidup hingga akhir segala kehidupan di dunia. Menurutnya, selama ini kita memang melakukan hal baik bersama tapi tidak dalam hubungan yang benar. Meski sudah menjadi fitrah, ketika kami meRASAkan perasaan cinta dan sayang. Dia juga menyadari bahwa perjalanan selanjutnya, akan lebih sulit lagi, sehingga yang perlu kita lakukan adalah mau untuk selalu belajar terus, bersama.

Saya bersyukur, dari pertanyaan itu. Kita saling sadar, tentang apa yang akan kita lakukan sehingga memutuskan menikah bukan hanya untuk merayakan perasaan saling mencintai dan menyayangi saja. Kami mulai serius untuk menyelaraskan frekuensi. 2 tahun mengenal, bukan berarti bisa SAMA frekuensinya. Lagi pula, mustahil jika frekuensi itu akan selalu sama. Pasti ada yang naik, ada yang turun. Kita berasal dari latar belakang yang sangat berbeda jauh, keluarga yang berbeda, semuanya berbeda, sehingga perbedaan itu bukan untuk disamakan. Di situ kita, lagi-lagi justru bisa saling belajar. Tugas masing-masing dari kita adalah menyelaraskan supaya bisa berjalan beriringan, didasari dengan keikhlasan.

- Nanti aku datang, sendiri. -
Saat yang mungkin sangat mendebarkan baginya. Melamar sendirian.
Pada umunya, laki-laki yang berniat untuk menikahi seorang perempuan akan membawa keluarga bersama segala tetek mbengek-nya. Tapi, dia datang sendiri dan menyatakan niat suci itu kepada kedua orang tua ku. Kalau boleh ngomong santai, aku ingin berkata, "Dahlah! Ga ngerti lagi, aku..."
Entah, bagaimana peraturan yang pasti. Tapi intinya, kita tidak melaksanakan kegiatan/acara pada umumnya. Sederhana dan tidak mengada-ada. Berjalan sesuai apa yang kita mampu saja. Sesingkat itu.
Kemudian, aku tinggal menjawab, "Iya. InsyaaAllah, siap."


- Kesepakatan Berdua -
Sebelum adanya niat suci yang terucapkan dengan mantab dan pasti...,
Kita membuat gambaran mengenai pernikahan (Wedding) yang menjadi harapan dari masing-masing. Saat itu, aku ataupun dia tidak memiliki gambaran yang muluk, sebab yang utama bagi kita berdua adalah after wedding-nya. Aku pun sebagai perempuan, tidak memiliki angan-angan yang tinggi. Selain karena tidak ingin menyulitkan pihak laki-laki. Aku juga bukan perempuan yang suka hal-hal yang luxurious. Uang (sebagai penyokong jalannya acara) itu netral, maka kita yang harus pandai membawanya ke arah mana. Memang dari awal semua sudah menjadi keinginanku. Sesuai, pas, dan cocok.

Kami sepakat untuk membuat simple, semuanya dari awal.


(Bersambung...)

Komentar

Postingan Populer