A Cup of Coffee and Tea in The Dusk

Layaknya kopi yang baru saja diseduh dengan air hangat,
mungkin itulah kesan pertama bertemu...

Aku memang bukan perempuan perasa,
aku hanya sangat menyukai banyak perbincangan,
apapun yang membuatku mendapatkan hal baru.
Aku sering terpukau dengan kecerdasan,
aku pun sangat menghargai seorang yang memiliki kualitas pemikiran yang tidak diragukan,
pengalaman hidup yang pahit beserta maknanya, juga caranya menghadapi kehidupan beserta nilai yang selalu dibawanya.

Perbincangan tentang hidup, tak pernah membosankan.
Di bersamai secangkir kopi atau teh,
kita mengenal tentang seorang yang baru,
dengan keunikan dan keistimewaannya.

Di waktu yang rupanya sangat singkat,
semua perasaan hangat berubah jadi parau.
Menyadari bahwa ini hanya perbincangan singkat,
bukan kisah yang akan di ukir seperti gambar pada gelas kopi atau teh,
melekat dan menghiasinya, indah dan menawan.
Ini hanya sajian yang direguk dalam beberapa waktu saja,
yang hanya menyisakan ampas, kemudian terbuang.

Perasaan memang bisa berubah kapan saja,
maka ku ikuti jejak Sang Baginda mengucapkan do'a,
Yaa muqollibal qulub tsabbit Qolbi 'alaa diinika.

Sebagai perempuan yang dikaruniai daya pikir kuat,
aku mampu dan berani mengakui segala rasa yang hadir, tetapi...
tetap menyadarinya,
menyadari bahwa ini rasa yang boleh hadir ketika berada di suatu perbincangan singkat saja.
Ditemani dengan kopi atau teh hangat. Memang awal kehangatan itu ada pada setiap seduhan...,
kemudian, akan dihabiskan, dan di akhiri.

Berpegang teguh pada rasa yang sebenarnya,
rasa yang sudah ku pilih pada satu manusia,
rasa yang sudah ku buat proposal pertanggung jawabannya,
melalui diskusi dan perbincangan yang lebih lama.
Bukan untuk di main-mainkan atau di bercandai lagi.
Sebab ini, urusan hati.

Selagi masih bersama,
rasa ini akan tetap ada dan terus dipertahankan.

Seperti kopi, yang hanya punya satu rasa, "pahit"
Seperti juga, dia yang ku pilih, Si Penikmat Kopi,
yang hanya punya satu Mahzab, "Setia".
Takkan berpaling, meski harus mengecap pahit berkali-kali.

Begitulah, alasan singkatku untuk terus membersamainya.
Takkan pernah ku selesaikan perbincangan dengannya.
Sebab, dia yang akan menyeduh kopi berkali-kali, dengan ku.

Dan perbincangan singkat itu,
berlalu hingga senja menyapa.
Senja dan malam memang begitu, akan selalu dekat,
namun mereka tak pernah mendapati titik temu,
sekalipun senja mengantarkan hari pada malam.

Takdir, ku pikir begitu.
Seperti juga cinta, tirakatnya selalu tak bisa ditebak,
banyak dekat tapi akhirnya tak ditakdirkan bersama.
Senja memang hanya melewati sebagian waktu, secara singkat.

Dan sebab Allah SWT, yang menyatukan dan memisahkan.

Komentar

Postingan Populer