Berbicara Dengan Diri Sendiri #Part1

Bismillah...


Hai Lisnadya!
Apa kabar? Bulan ini menjadi bulan yang perlu kamu renungi, sebab rasanya memang banyak sekali air mata yang sudah tumpah ruah bagai hujan di musim kemarau. Kamu sudah hampir lima bulan lamanya berkutat dengan data kuesioner penelitian skripsimu kan? Gimana rasanya? Coba rasakan!

Ya, benar, tidak nyaman kan?

Semua yang sudah kamu lalui, ada baiknya untuk direnungkan hari ini.
Kamu renungkan sendiri tanpa ada orang lain yang memaksamu untuk mengatakan apa yang tidak ada di dalam benakmu, yang tidak kamu rasakan ada kenyamanan di sana.

Ya... Kamu ingin sekali menumpahkan semua itu, bukan?

Hari ini, Tujuh, September, Dua Ribu Dua Puluh.
Kamu harus meneliti lagi tiap-tiap waktu yang sudah kamu lalui dengan baik itu. Ada beberapa hal yang perlu kamu ambil seperti biasa. Ada beberapa hal yang perlu kamu perbaiki juga dari kejadian-kejadian tersebut. Jangan sampai ia hanya pupus terbawa angin musim kemarau tanpa ada bekas apapun.

Lisnadya,
Kamu belajar sabar selama ini, itu benar. Kamu sangat bersabar sekali mengerjakan apa yang harus kamu selesaikan itu, yaitu Skripsi. Kamu bisa mengendalikan semuanya dengan baik saat menghadapinya. Dengan keminiman ilmu dan sedikit teman; kamu berani menghadapinya dengan baik-baik saja. Kamu hebat! Kamu kuat untuk menjalani semua itu sampai hari ini tanpa melupakan semua kebutuhan yang dibutuhkan oleh dirimu. Kamu tetap menyayangi dirimu dengan baik.

Karena sudah terlanjur menyelam di kedalaman yang sangat. Kamu tidak bisa melarikan diri dari ini semua. Kamu sudah menyadarinya, bahwa kewajiban akan terus menjadi kewajiban dan tidak akan berubah menjadi hak. Keduanya adalah dua hal yang berbeda meskipun sudah menjadi sepasang yang tidak bisa dipisahkan. Kamu tidak memungkiri, juga sulit dirimu untuk menuntut hak sebelum kewajibanmu terselesaikan.

Alhamdulillah... kamu bisa berpikir demikian.

Selama menjalani proses penyelesaian tugas ini, kamu masih saja diberikan ujian dan cobaan oleh Allah. Sedikitpun kamu tidak berburuk sangka padaNya, kan? Memang begitu, apapun, keadaan, kondisi, situasi, yang kamu tidak kuasa atasnya. Maka yakin saja bahwa ini semua sudah dikendalikan olehNya. Kamu lelah? Aku tahu, kamu sangat lelah; karena harus melihat Nenekmu yang tidak pernah menyayangimu dengan tulus itu, terhitung sejak bulan Februari 2020 harus serumah denganmu. Nenekmu yang tiba-tiba menangis karena "katanya" diusir oleh cucu kesayangannya yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri itu. Benci sekali kamu harus berada di situasi dan kondisi seperti ini? Kamu terlihat sangat marah! Meski kamu bisa mengendalikan itu semua di keadaan tertentu.

Kamu tidak pernah bisa menerimanya? Kamu belum bisa menjawabnya? Ok. Aku tahu kamu sangat tidak karuan dengan keadaan ini. Bapakmu yang tidak terlalu membijaksanai, Ibumu yang harus menahan diri dan entah betapa hancur perasaannya dengan keadaan ini, adik-adikmu yang harus mengalah karena tidur di depan TV sebab tak ada kamar lagi, dan semua kebiasaan hangat yang berubah menjadi dingin karena kehadiran Nenek. Mari kita jujur pada diri kita! Kamu sangat tidak suka kehadirannya, bukan? Iya, kamu sangat tidak suka ia hadir di tengah-tengah keluarga yang sebelumnya sangat nyaman dan hangat. Semua ini terjadi begitu saja.

Apa iya, kamu harus membencinya?
Setelah sekian lama, kamu tidak pernah mempedulikannya. Tidak ada rasa apapun ketika kamu bersamanya. Tidak ada alasan untuk tetap menghormatinya kecuali dia adalah seorang yang sudah sepuh. Itu saja. Dia adalah Ibunya Bapak? Tidak ada efek apapun tentang kenyataan itu. Bahkan sebelumnya kamu sudah mendengar semua cerita; bahwa memang tidak ada cinta antara Ibu dan Anak di antara mereka. Menyadari semua itu, apa yang harus kamu lakukan? Tidak ada ya?

Beberapa waktu terakhir justru kamu semakin egois saja.
Memang, kamu semakin merasakan bahwa Bapak dan Ibumu pun juga egois. Atau barangkali sudah tidak bisa berbuat banyak selain menerima takdir. Takdir bahwa orang yang selama ini membenci mereka, menjelekkan, bahkan tidak menganggap lagi mungkin? Tiba-tiba harus menumpang hidup dengan mereka berdua. Semua ini benar-benar seperti puzzle yang ingin sekali kamu gabungkan agar menjadi seperti sebuah jawaban, kan? Dari jawaban itu, kamu bisa lebih mengenali dirimu sendiri lagi. Sepertinya.

Hal-hal sepele mungkin.
Tapi hal itu yang membuat keluarga ini menjadi hangat. Kini rasanya semakin memudar saja, ya? Karena apa-apa harus pertimbangan; gimana Nenek, gimana Nenek nanti, lah gimana Nenek? Sial betul! Malas juga ya mendengarnya lama-lama. Tapi semua itu bukan tanpa alasan kan? Semua itu karena memang ulah Nenekmu yang juga tidak tahu diri. Masih saja belum ada ikatan apa-apa yang mampu melekat di benakmu. Memang. Dia bukan semakin mendekat meski raganya ada di dekatmu. Dia semakin jauh karena hatinya semakin kuat condong ke cucu kesayangannya yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri itu. Pun sudah beberapa sikapnya yang membuat Ibumu tidak tenang; kamu tahu betul kan apa yang dirasakan Ibu, mungkin hatinya menangis kencang saat ini.

Untuk sekadar makan malam bersama di luar rumah.
Sudah tidak bisa lagi kamu dapatkan. Bukan. Bukan karena tidak ada uang. Karena jika tidak ada uang pun kamu tetap bisa memaklumi dengan bersabar seperti biasa, memaklumi dengan baik, dan tetap berbahagia bisa tetap bersama-sama. Tapi karena NENEK. Aku benci sekali alasan ini. Aku benci sekali, sekarang tidak bisa sehangat dulu lagi; makan malam bersama meski hanya makan nasi kucing di warung pinggir jalan, membawa bekal makan sendiri dan di makan di pinggir jalan, berhenti di warung kopi dan membeli es degan, atau berlibur di suatu tempat yang masih baru ditemui, berkeliling di beberapa daerah untuk mencari tempat, beli soto ayam yang jaraknya jauh dari rumah, mencoba makanan yang masih baru buka di Kota, mengantarkan Ibu belanja di Surya Swalayan dan beli pentol, bersilaturahmi bersama di rumah Kakaknya Ibu, pergi ke pantai ber-enam; Bapak, Ibu, Aku, dan ketiga Adikku, dsb. Apa benar kamu tidak bisa merasakan itu semua, lagi? Tanpa ada orang yang sama sekali tidak kamu cintai dan tidak mencintaimu selama ini, ya, Nenek.

Kenapa Tuhan membuatmu seperti ini?
Bisakah kamu berpikir lebih baik tanpa mendahulukan egomu?

Aku tahu, kamu sangat ingin mencurahkan semua rasa kecewamu pada keadaan yang sungguh tak terduga ini. Kamu perlu menambah dan meningkatkan rasa syukurmu. Kamu masih ada teman berjuang yang tak pernah meninggalkanmu, kan? Dia yang selalu menerima sedihmu, membantumu bangkit, mendengarkan tangismu, menguatkan kamu, membentangkan tangannya, memberikanmu kehangatan, mengulurkan tangannya, mengajakmu berlari kembali. Apa itu tidak cukup?

Dia yang berusaha untukmu.
Saat isi dompetnya tipis. Harus mengisi angin untuk ban sepeda motornya yang berkali-kali bocor, harus mengisi ulang bensin sepeda motornya untuk perjalanan ke rumahmu yang cukup jauh dari rumah kosnya. Yang harus menghela nafas untuk lebih bersabar karena mendengarkan rengekanmu. Dia yang selama ini mungkin sering kamu kecewakan dan kamu buat luka di hatinya tetapi tetap setia dan tulus mencintai dan menyayangimu. Apa satu manusia bagai malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan, untukmu, ini, tidak cukup membuatmu lebih bersyukur?

Alhamdulillah alaa kulli haal...

Begini saja...
Sejak awal semua memang sudah banyak kesalahan. Entah itu kesalahan mendidik dan mengasuh atau kesalahan yang tak bisa kamu detail-kan bagaimana gambaran aslinya. Meski juga berimbas kepadamu, Lisnadya. Tapi sekarang Allah sudah menuntunmu, Allah mentarbiyyah dirimu, dan menunjukkan semuanya yang kamu perlukan; agar kamu bisa memperbaikinya untuk generasimu kelak.

Jadi...
Kamu perlu memeluk itu semua, memeluk erat-erat semua yang sangat menyakitkan dan membuatmu merasa sangat buruk. Lagi-lagi penerimaan yang solutif. Menerima dengan membuat solusi yang aplikatif; dapat memperbaiki apa yang telah lama rusak.

Selanjutnya, tunggu saja jawaban dari Tuhan.


Bersambung...

Komentar

Postingan Populer