Tobatnya Lelaki Bertatto *CERPEN
Tak semestinya hidup
ini berjalan lurus-lurus saja, setiap insan akan selalu didatangi beberapa
masalah. Tak selalu yang baik-baik itu akan berakhir baik pula, dan yang
buruk-buruk akan berakhir buruk. Setiap makhluk yang menghadapi kerasnya hidup
ini akan mengerti betapa menyeramkannya dunia. Ia yang berpikir akan semakin
mengerti apa arti hidup, ia yang berkecimpung dengan dunia hitam, dunia sampah
yang didalamnya penuh kotoran dimata orang-orang yang merasa baik.
Pagi ini aku harus melaksanakan tugasku sebagai manusia
yang bersemangat untuk menuntut ilmu. Shubuh yang menenangkan, kulihat langit
masih memejamkan mata, karena mentari belum menampakkan diri di ufuk timur. Aku
berbincang dalam hatiku, “Ya Allah, ada
keajaiban apalagi ya hari ini?”. Tiap-tiap waktu aku selalu penasaran
dengan apa yang akan terjadi setelah detik berganti detik, lalu menit berjalan
menjadi jam, begitu seterusnya. Aku memperhatikan setiap makhluk disekitarku,
itu hal yang menyenangkan bagiku, itu yang membuatku bisa mengenal
karakter-karakter orang, tumbuhan, dan hewan. Aku selalu ingin tau apa maksud
dari gerak mereka, apa makna keindahan yang mereka miliki.
Kuberjalan menelusuri bahu jalan, hari ini cukup ramai.
Cuaca cerah, karena mentari pagi ini sedang bahagia, tak ada mendung yang
menghalanginya, hanya beberapa kapas putih yang membalut langit biru yang
sangat sejuk dipandang. Asap-asap kendaraan yang menghalangi penglihatanku,
menggangguku saat menikmati oksigen yang Allah berikan secara cuma-cuma. Tapi
itulah nyatanya, menurutku indah-indah saja.
“Hei, tunggu dulu!”,
tiba-tiba saja seseorang menghentikan langkahku. Suara laki-laki, sepertinya
masih muda. Perlahan tapi pasti aku menengok dengan tenang. Oh tidak! Premankah
ini? Hatiku semakin khawatir saja, menelan ludahku sendiri, menandakan aku
sedang gugup. Ia mendekat, semakin dekat, berhenti sekitar 1,5m dari tempatku
terpaku. “maaf mengganggu jalanmu, bisa bicara sebentar?”. Peuh! Laki-laki ini
membuatku semakin gugup, aku bingung harus mengikutinya atau tidak. Lihat saja
tampilannya, lengannya penuh tattoo, telinganya ada anting, rambutnya keren sih
tapi. Entahlah! Aku harus bagaimana? Aku harus ngapain? Jantungku semakin
berdebar saja. Nanti kalo aku diculik gimana, terus kalo…arrgghh! Bagaimana
ini?. “kau tak percaya padaku, gara-gara ini, ini juga?”, ia bertanya padaku,
mungkin tak tahan melihatku linglung dan gugup. Ia sadar style-nya buatku tak
nyaman, menunjukkan beberapa sisi dari dirinya yang membuatku terdiam cukup
lama. “kau ini siapa? Mau bicara apa?”, aku bertanya dengan wajah yang agak
canggung. Yang benar saja, ia malah menyuguhkan senyuman. Aku malu. Kebetulan
tak jauh dari tempatku berdiri ada tempat duduk, aku segera mengajaknya kesana.
Kami duduk, dengan jarak 2m kali ini. “perkenalkan, aku dendy. Boleh ku tau
namamu?, ia menyodorkan telapak tangannya. Aku menoleh, tersenyum, dan
mengangguk saja, “aku Nadine, ada apa kau menghentikanku tadi? Apa maksudmu?”,
“jangan berprasangka buruk dululah, aku tau kamu pasti berpikiran kalo aku ini
preman”, jelasnya dengan percaya diri, tersenyum dan alis kananya terangkat
benar-benar membuatku canggung, siapa laki-laki ini?
***
Setelahku
bertemu dengannya, membuatku bingung harus berbuat apa untuknya. Dia, laki-laki bertatto di tangan
sebelah kiri dan juga tindik di telinga kanan, yang membagi masa lalunya
padaku. Bercerita, menangis, menangis? Ya
benar, ia tersedu dihadapanku, ia sangat terpukul dengan hidupnya, tak tau
arah, tak tau jalan pulang, ia tersesat dilingkaran neraka(baginya). Terlahir
dari keluarga broken, menjadi seorang
napi beberapa bulan, dan kehidupan ekonomi dan pendidikan yang sangat rendah. Malam
itu aku berpikir, haruskah aku membantunya? Bagaimana caranya, aku ini saja
belum baik, mana bisa aku membantunya untuk bertobat?,
Ia ingin bertobat, entahlah! Setelah melihatku, ia pikir aku ini wanita sholihah! Hah, sholihah? Ya aku ini masih jauh dari
kata itu, atau mungkin karena style-ku? Seharusnya
ada perantara laki-laki yang harus membantunya untuk merubah dirinya,
menyampikan sesuatu yang baik, mengajarinya membaca Al-Qur’an. Yang benar saja,
laki-laki berumur 22 tahun sama sekali belum bisa mengaji. Sama sekali. Geram,
aku ingin membantunya. Memang tak ada jalan lain, “Bismillah, jadikan ilmu yang kumiliki, menjadi ilmu yang bermanfaat ya
Allah” memang aku yang harus membantu si lelaki bertatto.
***
Hari demi hari berlalu,
tiap seminggu 3x pertemuanku dengan Dendy semakin semangat ia belajar mengaji,
semakin tenang pula kehidupannya. Namun tetap saja ia hidup dengan
parasit(TATTO) yang masih menempel di lengannya, karena itu tattoo permanent
maka tak bisa di hilangkan, kecuali disiram dengan air keras, katanya. Sudah 2 bulan
berjalan, saat dimana Dendy goyah keimanannya. Aku terkejut ketika ia
mengatakan kalimat itu, tapi aku menyadari bahwa itulah resikoku. Dendy
mengungkapkan perasaannya. Ia belum mengerti bagaimana prinsipku, memang
salahku tak memperingatkannya dari awal. “maaf aku menyukaimu Nadine”,
ungkapnya sambil memandangku, aku hanya bisa Ghadul bashar(menundukkan
pandangan). “aku ingin memilikimu, apa bisa Nadine?”, Bismillah aku
memberanikan diri,”aku tak bisa, aku tak ingin dimiliki siapapun selain
penciptaku, dan aku tak ingin mendengar ungkapan apapun lagi darimu”, suaraku
bergetar, aku mulai gugup. “Hidayah datang darimu Nadine, aku sudah meraihnya,
sekaligus aku mendapat perasaan ini, apa tidak bisa kita menjalin hubungan?”,
“Alhamdulillah kamu mendapatkan Hidayah itu dan sudah kamu raih, tapi kamu
salah mengambil sikap atas perasaanmu, aku tak ingin ada hubungan apapun, aku
hanya ingin hubungan yang halal, dan sekarang ini belum saatnya, aku tak bisa
lagi bertemu denganmu setelah ini”, “apa karena tatto dan tindik ini, kamu tak
mau denganku?”. Pertanyaannya membuatku semakin tak tahan berlama-lama dekat
dengannya, aku menjawab sejelas mungkin,agar ia mengerti, “belum saatnya aku
dekat dengan seorang laki-laki, aku memang takut melihat tattoo mu itu.
Bertobatlah kembali, dengan sebenar-benarnya tobat, carilah seseorang yang bisa
membagi ilmunya, seorang laki-laki, jangan seorang perempuan karena itu akan
menyulitkanmu untuk fokus dalam menutut ilmu, jagalah perasaanmu baik-baik”. Ia
hanya terdiam, entahlah! Diam karena sudah paham betul dengan kalimatku, atau
diam karena kecewa. Aku tak peduli. Dan aku segera beranjak pergi. Memang
sangat singkat, aku hanya sempat untuk mengajarinya mengaji dan memberikannya
wawasan-wawasan tentang Menjadi Seorang Muslim. Sedikit sekali, tapi semoga itu
akan bermanfaat untuknya.
***
Beberapa bulan
kemudian, 3 bulan berlalu tak ada kabar tentang Dendy. Aku juga tak ingin
mencari tau tentang dirinya. Sempat berpikir aku akan menemuinya, tapi tidak.
Suatu saat jika di pertemukan, pasti aku bisa melihatnya kembali. Terakhir
kalinya ia hanya mengirimiku pesan singkat, “Dalam malam aku sepi, dalam sunyi aku sendiri. Tak
terlihat lagi sosok parasmu wahai
Bidadari. Maafkan aku . Maafkan aku. Terima Kasih sudah menyadarkan ku,
membawaku pergi dari kegelapan duniaku. Memberiku obat, mengajarkanku tentang
tobat, dan aku akan terus bertekad. Saat
ini aku bisa berjalan sendiri, akan kujaga semua yang kau beri. Ilmu yang
takkan pernah mati”. Semoga saja ia tetap selalu konsisten dengan misi tobatnya.
Karena bertobat itu memang tidak mudah. Tobat adalah kembali ke jalan yang
diridhoi Allah, meninggalkan jalan yang dimurkai Allah. Dan ada 3 cara untuk
bertobat : Introspeksi, Berhenti, dan Berazzam(Bertekad). Aku mau bertemu Dendy
kembali, jika ia benar-benar sudah bertobat, dan menjaga sikap atas perasaannya
yang dulu diungkapkan padaku. Dimana ia sekarang? Apa sudah lebih baik dari
kemarin? Tak semestinya hidup
ini berjalan lurus-lurus saja, setiap insan akan selalu didatangi beberapa
masalah. Tak selalu yang baik-baik itu akan berakhir baik pula, dan yang
buruk-buruk akan berakhir buruk. Setiap makhluk yang menghadapi kerasnya hidup
ini akan mengerti betapa menyeramkannya dunia. Ia yang berpikir akan semakin
mengerti apa arti hidup, ia yang berkecimpung dengan dunia hitam, dunia sampah
yang didalamnya penuh kotoran dimata orang-orang yang merasa baik.
Pagi ini aku harus melaksanakan tugasku sebagai manusia
yang bersemangat untuk menuntut ilmu. Shubuh yang menenangkan, kulihat langit
masih memejamkan mata, karena mentari belum menampakkan diri di ufuk timur. Aku
berbincang dalam hatiku, “Ya Allah, ada
keajaiban apalagi ya hari ini?”. Tiap-tiap waktu aku selalu penasaran
dengan apa yang akan terjadi setelah detik berganti detik, lalu menit berjalan
menjadi jam, begitu seterusnya. Aku memperhatikan setiap makhluk disekitarku,
itu hal yang menyenangkan bagiku, itu yang membuatku bisa mengenal
karakter-karakter orang, tumbuhan, dan hewan. Aku selalu ingin tau apa maksud
dari gerak mereka, apa makna keindahan yang mereka miliki.
Kuberjalan menelusuri bahu jalan, hari ini cukup ramai.
Cuaca cerah, karena mentari pagi ini sedang bahagia, tak ada mendung yang
menghalanginya, hanya beberapa kapas putih yang membalut langit biru yang
sangat sejuk dipandang. Asap-asap kendaraan yang menghalangi penglihatanku,
menggangguku saat menikmati oksigen yang Allah berikan secara cuma-cuma. Tapi
itulah nyatanya, menurutku indah-indah saja.
“Hei, tunggu dulu!”,
tiba-tiba saja seseorang menghentikan langkahku. Suara laki-laki, sepertinya
masih muda. Perlahan tapi pasti aku menengok dengan tenang. Oh tidak! Premankah
ini? Hatiku semakin khawatir saja, menelan ludahku sendiri, menandakan aku
sedang gugup. Ia mendekat, semakin dekat, berhenti sekitar 1,5m dari tempatku
terpaku. “maaf mengganggu jalanmu, bisa bicara sebentar?”. Peuh! Laki-laki ini
membuatku semakin gugup, aku bingung harus mengikutinya atau tidak. Lihat saja
tampilannya, lengannya penuh tattoo, telinganya ada anting, rambutnya keren sih
tapi. Entahlah! Aku harus bagaimana? Aku harus ngapain? Jantungku semakin
berdebar saja. Nanti kalo aku diculik gimana, terus kalo…arrgghh! Bagaimana
ini?. “kau tak percaya padaku, gara-gara ini, ini juga?”, ia bertanya padaku,
mungkin tak tahan melihatku linglung dan gugup. Ia sadar style-nya buatku tak
nyaman, menunjukkan beberapa sisi dari dirinya yang membuatku terdiam cukup
lama. “kau ini siapa? Mau bicara apa?”, aku bertanya dengan wajah yang agak
canggung. Yang benar saja, ia malah menyuguhkan senyuman. Aku malu. Kebetulan
tak jauh dari tempatku berdiri ada tempat duduk, aku segera mengajaknya kesana.
Kami duduk, dengan jarak 2m kali ini. “perkenalkan, aku dendy. Boleh ku tau
namamu?, ia menyodorkan telapak tangannya. Aku menoleh, tersenyum, dan
mengangguk saja, “aku Nadine, ada apa kau menghentikanku tadi? Apa maksudmu?”,
“jangan berprasangka buruk dululah, aku tau kamu pasti berpikiran kalo aku ini
preman”, jelasnya dengan percaya diri, tersenyum dan alis kananya terangkat
benar-benar membuatku canggung, siapa laki-laki ini?
***
Setelahku
bertemu dengannya, membuatku bingung harus berbuat apa untuknya. Dia, laki-laki bertatto di tangan
sebelah kiri dan juga tindik di telinga kanan, yang membagi masa lalunya
padaku. Bercerita, menangis, menangis? Ya
benar, ia tersedu dihadapanku, ia sangat terpukul dengan hidupnya, tak tau
arah, tak tau jalan pulang, ia tersesat dilingkaran neraka(baginya). Terlahir
dari keluarga broken, menjadi seorang
napi beberapa bulan, dan kehidupan ekonomi dan pendidikan yang sangat rendah. Malam
itu aku berpikir, haruskah aku membantunya? Bagaimana caranya, aku ini saja
belum baik, mana bisa aku membantunya untuk bertobat?,
Ia ingin bertobat, entahlah! Setelah melihatku, ia pikir aku ini wanita sholihah! Hah, sholihah? Ya aku ini masih jauh dari
kata itu, atau mungkin karena style-ku? Seharusnya
ada perantara laki-laki yang harus membantunya untuk merubah dirinya,
menyampikan sesuatu yang baik, mengajarinya membaca Al-Qur’an. Yang benar saja,
laki-laki berumur 22 tahun sama sekali belum bisa mengaji. Sama sekali. Geram,
aku ingin membantunya. Memang tak ada jalan lain, “Bismillah, jadikan ilmu yang kumiliki, menjadi ilmu yang bermanfaat ya
Allah” memang aku yang harus membantu si lelaki bertatto.
***
Hari demi hari berlalu,
tiap seminggu 3x pertemuanku dengan Dendy semakin semangat ia belajar mengaji,
semakin tenang pula kehidupannya. Namun tetap saja ia hidup dengan
parasit(TATTO) yang masih menempel di lengannya, karena itu tattoo permanent
maka tak bisa di hilangkan, kecuali disiram dengan air keras, katanya. Sudah 2 bulan
berjalan, saat dimana Dendy goyah keimanannya. Aku terkejut ketika ia
mengatakan kalimat itu, tapi aku menyadari bahwa itulah resikoku. Dendy
mengungkapkan perasaannya. Ia belum mengerti bagaimana prinsipku, memang
salahku tak memperingatkannya dari awal. “maaf aku menyukaimu Nadine”,
ungkapnya sambil memandangku, aku hanya bisa Ghadul bashar(menundukkan
pandangan). “aku ingin memilikimu, apa bisa Nadine?”, Bismillah aku
memberanikan diri,”aku tak bisa, aku tak ingin dimiliki siapapun selain
penciptaku, dan aku tak ingin mendengar ungkapan apapun lagi darimu”, suaraku
bergetar, aku mulai gugup. “Hidayah datang darimu Nadine, aku sudah meraihnya,
sekaligus aku mendapat perasaan ini, apa tidak bisa kita menjalin hubungan?”,
“Alhamdulillah kamu mendapatkan Hidayah itu dan sudah kamu raih, tapi kamu
salah mengambil sikap atas perasaanmu, aku tak ingin ada hubungan apapun, aku
hanya ingin hubungan yang halal, dan sekarang ini belum saatnya, aku tak bisa
lagi bertemu denganmu setelah ini”, “apa karena tatto dan tindik ini, kamu tak
mau denganku?”. Pertanyaannya membuatku semakin tak tahan berlama-lama dekat
dengannya, aku menjawab sejelas mungkin,agar ia mengerti, “belum saatnya aku
dekat dengan seorang laki-laki, aku memang takut melihat tattoo mu itu.
Bertobatlah kembali, dengan sebenar-benarnya tobat, carilah seseorang yang bisa
membagi ilmunya, seorang laki-laki, jangan seorang perempuan karena itu akan
menyulitkanmu untuk fokus dalam menutut ilmu, jagalah perasaanmu baik-baik”. Ia
hanya terdiam, entahlah! Diam karena sudah paham betul dengan kalimatku, atau
diam karena kecewa. Aku tak peduli. Dan aku segera beranjak pergi. Memang
sangat singkat, aku hanya sempat untuk mengajarinya mengaji dan memberikannya
wawasan-wawasan tentang Menjadi Seorang Muslim. Sedikit sekali, tapi semoga itu
akan bermanfaat untuknya.
***
Beberapa bulan
kemudian, 3 bulan berlalu tak ada kabar tentang Dendy. Aku juga tak ingin
mencari tau tentang dirinya. Sempat berpikir aku akan menemuinya, tapi tidak.
Suatu saat jika di pertemukan, pasti aku bisa melihatnya kembali. Terakhir
kalinya ia hanya mengirimiku pesan singkat, “Dalam malam aku sepi, dalam sunyi aku sendiri. Tak
terlihat lagi sosok parasmu wahai
Bidadari. Maafkan aku . Maafkan aku. Terima Kasih sudah menyadarkan ku,
membawaku pergi dari kegelapan duniaku. Memberiku obat, mengajarkanku tentang
tobat, dan aku akan terus bertekad. Saat
ini aku bisa berjalan sendiri, akan kujaga semua yang kau beri. Ilmu yang
takkan pernah mati”. Semoga saja ia tetap selalu konsisten dengan misi tobatnya.
Karena bertobat itu memang tidak mudah. Tobat adalah kembali ke jalan yang
diridhoi Allah, meninggalkan jalan yang dimurkai Allah. Dan ada 3 cara untuk
bertobat : Introspeksi, Berhenti, dan Berazzam(Bertekad). Aku mau bertemu Dendy
kembali, jika ia benar-benar sudah bertobat, dan menjaga sikap atas perasaannya
yang dulu diungkapkan padaku. Dimana ia sekarang? Apa sudah lebih baik dari
kemarin?
Komentar
Posting Komentar